Tentang Blog Ini.......

Blog ini berisikan artikel-artikel filsafat, baik itu dari kawasan Timur, Barat, Islam, Indonesia dan tentunya kajian mengenai cabang-cabang filsafat. Blog ini dikelola oleh Mahasiswa Filsafat UGM Yogyakarta.......

Welcome

cooltext412013677

Filsafat Timur

Filsafat Barat

Filsafat Islam

Ketika Agama Tak Lagi Mendamaikan: Relasi Manusia dan Agama Menurut William James

Religion was existed along human intendence in the world. Initially, religion have extending expectation for human being with good order and ruthless of soul. But, holy message of God by religion was miss understood by many believer. Happened war of religion between that follower. Tragedy in Jaza Strip are example on this problem. Israel say Palestine earth is mine, based on Old Treastment ini Bible. In this article, I will explain about human and religion relationship with William James perspective. James is a part of pragmatism tradition notable exspecially with pragmatical faith. I hope all of reader can a clearly about problem of holy war which was happen in the world exspecially on today. Sejak tanggal 27 Desember 2008 sampai hari ini (12 Januari 2009) kita menyaksikan tradegi kemanusiaan yang terjadi di Jalur Gaza Palestina. Peristiwa bukanlah yang pertama, tapi merupakan rangkaian kekejaman Israel terhadap Bangsa Palestina sejak pemerintahan Turki Ustmani di bawah pimpinan Sultan Abdul Hamid II 1876-1909 M... Baca selengkapnya...

Kajian Epistemologi Charles Sanders Pierce (1839-1914)

Charles Sanders Peirce dilahirkan pada 10 September 1839 di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Dia menulis dari tahun 1857 sampai menjelang wafat, kira selama 57 tahun. Publikasinya mencapai 12.000 halaman dan manuskrip yang tidak dipublikasikan mencapai 80.000 halaman catatan tangan. Topik yang dibahas dalam karya-karya Peirce sangat luas, dari matematika dan ilmu fisika, ekonomi dan ilmu sosial, serta masalah lainnya.Benjamin Peirce, ayah Charles Sanders Peirce adalah professor matematika di Universitas Harvard dan salah seorang pendiri “U.S. Coast and Geodetic Survey”. Peran Benjamin sangat besar dalam membangun Departemen Matematika di Harvard. Dari ayahnya, Charles Sanders Peirce memperoleh pendidikan awal yang mendorong dan menstimulus kiprah intelektualnya. Benjamin mengajar dengan melalui pendekatan kasus/problem yang meminta jawaban dari sang anak.Hal ini membekas dalam pemikiran filosofis dan masalah ilmu yang dihadapi Peirce di kemudian hari... Baca selengkapnya...




Metafisika

  • Tata Hubungan antara Metafisika dengan Cabang-Cabang Ilmu Khusus

Tata hubungan metafisika dengan ilmu-ilmu khusus adalah keduanya tidak dapat saling mengecualikan dan mengucilkan; melainkan saling melengkapi di dalam pemahaman manusia tentang seluruh kenyataan. Sebenarnya semua ilmu menyelidiki seluruh kenyataan, namun masing-masing menurut aspek formal tersendiri dan dengan memakai metode ilmiah yang sesuai. Oleh karena itu sama sekali tidak usah ada pertentangan dan persaingan antara metafisika dan ilmu-ilmu khusus. Sebab kenyataan itu hanya satu, maka semua taraf ilmiah juga dapat disesuaikan satu sama lain. Mereka saling melengkapi untuk mencapai pemahaman menyeluruh mengenai kenyataan... Baca selengkapnya...

  • Konsep Ketuhanan dalam Agama Hindu 


Pertanyaan awal yang menarik terkait dengan agama Hindu: Apakah Tuhan Agama Hindu mempunyai wujud? Hal ini terkait dalam sistem pemujaan agama Hindu para pemeluknya membuat bangunan suci, arca (patung-patung), pratima, pralinga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain-lain. Hal ini menimbulkan prasangka dan tuduhan yang bertubi-tubi dengan mengatakan umat Hindu menyembah berhala. Penjelasan lebih lanjut tentang pelukisan Tuhan dalam bentuk patung adalah suatu cetusan rasa cinta (bhakti). Sebagaimana halnya jika seorang pemuda jatuh cinta pada kekasihnya, sampai tingkat madness (tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya erat-erat, diumpamakan kekasihnya., diapun ingin mengambarkan kekasihnya itu dengan sajak-sajak yang penuh dengan perumpamaan... Baca selengkapnya...

Seputar Etika Politik *

Pengantar

Dalam catatan-catatan berikut dijelaskan secara singkat:

1. Apa itu “etika politik”
2. Hal moralitas politisi
3. Tiga prinsip dasar etika politik
4. Etika politik dan demokrasi

A. Etika Politik

Perlu dibedakan antara etika politik dengan moralitas politisi. Moralitas politisi menyangkut mutu moral negarawan dan politisi secara pribadi (dan memang sangat diandaikan), misalnya apakah ia korup atau tidak (di sini tidak dibahas). Etika politik menjawab dua pertanyaan:


  • Bagaimana seharusnya bentuk lembaga-lembaga kenegaraan seperti hokum dan Negara (misalnya: bentuk Negara seharusnya demokratis); jadi etika politik adalah etika institusi.

  • Apa yang seharusnya menjadi tujuan/sasaran segala kebijakan politik, jadi apa yang harus mau dicapai baik oleh badan legislative maupun eksekutif.
Etika politik adalah perkembangan filsafat di zaman pasca tradisional. Dalam tulisan para filosof politik klasik: Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas, Marsilius dari Padua, Ibnu Khaldun, kita menemukan pelbagai unsur etika politik, tetapi tidak secara sistematik. Dua pertanyaan etika politik di atas baru bisa muncul di ambang zaman modern, dalam rangka pemikiran zaman pencerahan, karena pencerahan tidak lagi menerima tradisi/otoritas/agama, melainkan menentukan sendiri bentuk kenegaraan menurut ratio/nalar, secara etis.

Maka sejak abad ke-17 filsafat mengembangkan pokok-pokok etika politik seperti:


  1. Perpisahan antara kekuasaan gereja dan kekuasaan Negara (John Locke)

  2. Kebebasan berpikir dan beragama (Locke)

  3. Pembagian kekuasaan (Locke, Montesquie)

  4. Kedaulatan rakyat (Rousseau)

  5. Negara hokum demokratis/republican (Kant)

  6. Hak-hak asasi manusia (Locke, dsb)

  7. Keadilan social

B. Lima Prinsip Dasar Etika Politik Kontemporer

Kalau lima prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan pancasila, maka itu bukan sekedar sebuah penyesuaian dengan situasi Indonesia, melainkan karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern (yang belum ada dalam Pancasila adalah perhatian pada lingkungan hidup).

1. Pluralisme

Dengan pluralism dimaksud kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya, untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralism mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang. Lawan pluralism adalah intoleransi, segenap paksaan dalam hal agama, kepicikan ideologis yang mau memaksakan pandangannya kepada orang lain.

Prinsip pluralism terungkap dalam Ketuhanan Yang Maha Esa yang menyatakan bahwa di Indonesia tidak ada orang yang boleh didisriminasikan karena keyakinan religiusnya. Sikap ini adalah bukti keberadaban dan kematangan karakter koletif bangsa.

2. HAM
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusia yang adil dan beradab. Mengapa? Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.

Hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual:


  • Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena ia manusia, jadi dari tangan Sang Pencipta.

  • Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, di ambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara modern.

Dibedakan tiga generasi hak-hak asasi manusia:

    • Generasi pertama (abad ke 17 dan 18): hak-hak liberal, demokratis dan perlakuan wajar di depan hokum.
    • Generasi kedua (abad ke 19/20): hak-hak sosial
    • Generasi ketiga (bagian kedua abad ke 20): hak-hak kolektif (misalnya minoritas-minoritas etnik).
  • Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan dan eklusivisme suku dan ras. Pelanggaran hak-hak asasi manusia tidak boleh dibiarkan (impunity).


    3. Solidaritas Bangsa

    Solidaritas mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembnag secara melingkar: keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia. Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar oleh korupsi. Korupsi bak kanker yang mengerogoti kejujuran, tanggung-jawab, sikap objektif, dan kompetensi orang/kelompok orang yang korup. Korupsi membuat mustahil orang mencapai sesuatu yang mutu.


    4. Demokrasi

    Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia, atau sebuah elit, atau sekelompok ideology, atau sekelompok pendeta/pastor/ulama berhak untuk menentukan dan memaksakan (menuntut dengan pakai ancaman) bagaimana orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Demokrasi adalah “kedaulatan rakyat plus prinsip keterwakilan”. Jadi demokrasi memrlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.


    Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar:

    • Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.

    • Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hokum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hokum merupakan unsur hakiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).

    5. Keadilan Sosial

    Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Maksud baik apa pun kandas apabila melanggar keadilan. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Keadilan social mencegah bahwa masyarakat pecah ke dalam dua bagian; bagian atas yang maju terus dan bagian bawah yang paling-paling bisa survive di hari berikut.

    Tuntutan keadilan social tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideology-ideologi, agama-agama tertentu; keadilan social tidak sama dengan sosialisme. Keadilan social adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan social diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Di mana perlu diperhatikan bahwa ketidakadilan-ketidakadilan itu bersifat structural, bukan pertama-pertama individual. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam struktur-struktur politik/ekonomi/social/budaya/ideologis. Struktur-struktur itu hanya dapat dibongkar dengan tekanan dari bawah dan tidak hanya dengan kehendak baik dari atas. Ketidakadilan structural paling gawat sekarang adalah sebagian besar segala kemiskinan. Ketidakadilan struktur lain adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.

    Dalam pendapat penulis, tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:

    1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan social.

    2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.

    3. Korupsi.

    Jakarta, 23 Agustus 2007
    Franz Magnis Suseno SJ


    * Artikel ini ditulis ulang dari makalah "KULIAH UMUM PROF. FRANZ MAGNIS SUSENO, SJ DI FAKULTAS FILSAFAT UGM YOGYAKARTA SENIN 27 AGUSTUS 2007"

    Teori Evolusi Charles Darwin *

    “In 1831 the Englishman set forth on his famous vayage in the Beagle. After 28 years he published Origin of Species, which revolutionized man’s view of nature and his place in it” (Loren C. Elseley, February 1956)

    Pendahuluan

    Sejak dahulu kala manusia selalu mempertanyakan asal-usul kehidupan dan dirinya. Jawaban sementara atas pertanyaan tersebut ada tiga altenatif, yaitu penciptaan, transformasi, atau evolusi biologi.

    Definisi evolusi biologi bermacam-macam tergantung dari aspek biologi yang dikaji. Beberapa definisi yang umum dijumpai di buku-buku biologi, antara lain: evolusi pada makhluk hidup adalah perubahan-perubahan yang dialami makhluk hidup secara perlahan-lahan dalam kurun waktu yang lama dan diturunkan, sehingga lama kelamaan dapat terbentuk species baru: evolusi adalah perubahan frekuensi gen pada populasi dari masa ke masa; dan evolusi adalah perubahan karakter adaptif pada populasi dari masa ke masa. Evolusi telah mempersatukan semua cabang ilmu biologi.

    Idea tentang terjadinya evolusi biologis sudah lama menjadi pemikiran manusia. Namun, di antara berbagai teori evolusi yang pernah diusulkan, nampaknya teori evolusi oleh Darwin yang paling dapat teori . Darwin (1858) mengajukan 2 teori pokok yaitu spesies yang hidup sekarang berasal dari spesies yang hidup sebelumnya, dan evolusi terjadi melalui seleksi alam. Perkembangan tentang teori evolusi sangat menarik untuk diikuti. Darwin berpendapat bahwa berdasarkan pola evolusi bersifat gradual, berdasarkan arah adaptasinya bersifat divergen dan berdasarkan hasilnya sendiri selalu dimulai terbentuknya varian baru.

    Dalam perkembangannya teori evolusi Darwin mendapat tantangan (terutama dari golongan agama, dan yang menganut paham teori penciptaan – Universal Creation), dukungan dan pengkayaan-pengkayaan. Jadi, teori sendiri juga berevolusi sehingga teori evolusi biologis yang sekarang kita kenal dengan label “Neo Darwinian” dan “Modern Sintesis”, bukanlah murni seperti yang diusulkan oleh Darwin. Berbagai istilah di bawah ini merupakan hasil pengkayaan yang mencerminkan pergulatan pemikiran dan argumentasi ilmiah seputar teori evolusi: berdasarkan kecepatan evolusi (evolusi quasi dan evolusi quantum); berdasarkan polanya (evolusi gradual, evolusi punctual, dan evolusi saltasi) dan berdasarkan skala produknya (evolusi makro dan evolusi mikro).

    Topic yang akan dibahas dibawah ini meliputi perkembagan teori evolusi Darwin dan implikasi dari teori evolusi biologi Darwin terhadap cara pandang kita tentang keberadaan makhluk dan alam semesta.
    Perkembangan Teori Evolusi Darwin

    1. Sejarah Singkat Charles Darwin (1809 – 1882)

    • 1831-1836: Perjalanan laut dengan kapal Beagle.
    • 1844: Draft buku “Origin of Species by Means of Natural Selection” telah selesai.
    • 1858: Afred Russel Wallace mengirim manuscript kepada J. Hooker anggota Royal Society, berisi tentang perluasan ide dari Malthus. Makalah bersama oleh Darwin dan Wallace di forum Society.
    • 1859: Publikasi buku “ On The Origin of Species by Means of Natural Selection”
    • 1860: Perdebatan antara Huxley dan Wilbeforce tanpa kehadiran Darwin
    • Darwin menghabiskan sisa masa hidupnya untuk penelitian dan publikasi buku “Descen of Man” (1871) dan “The Expression of Emotion in Man and Animals” (1871).

    Buku “Origin of Species by Means of Natural Selection” yang diterbitkan tahun 1959 ini, menurut indeks sitasi merupakan buku yang paling banyak diacu oleh penulis lain (selain kitab suci) selama ini.

    2. Perkembangan Teori Evolusi

    Banyak hal dan pemikiran ahli lain yang mempengaruhi perkembangan teori Darwin, antara lain:

    • Ekspedisi ke lautan Galapagos ditemukan bahwa perbedaan bentuk paruh burung Finch disebabkan perbedaan jenis makanannya.
    • Geolog Charles Lyell (1830) menyatakan bahwa batu-batuan di bumi selalu mengalami perubahan. Menurut Darwin, hal-hal tersebut kemungkinan mempengaruhi makhluk hidupnya. Pikiran ini juga didasarkan pada penyelidikannya pada fosil.
    • Pendapat ekonom Malthus yang menyatakan adanya kecendrungan kenaikan jumlah penduduk lebih cepat dari kenaikan produksi pangan. Hal ini menimbulkan terjadinya suatu persaingan untuk kelangsungan hidup. Oleh Darwin hal ini dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan oleh para peternak untuk memperoleh bibit unggul.
    • Pendapat beberapa ahli seperti Geoffroy (1829), WC Wells (1813), Grant (1826), Freke (1851), dan Rafinisque (1836).
    Tahun 1858 Darwin mempublikasikan The Origin yang memuat 2 teori utama yaitu:
    • 1. Spesies yang hidup sekarang berasal dari spesies lain yang hidup di masa lampau.
    • 2. Evolusi terjadi melalui seleksi alam.
    Menurut Darwin, agen tunggal penyebab terjadinya evolusi adalah seleksi alam. Seleksi alam adalah “process of preserving in nature favorable variations and ultimately eliminating those that are ‘injurious’”.
    Secara umum, tanggapan ahli lain terhadap teori Darwin adalah:
    • a. Mendapat tantangan terutama dari golongan agama, dan yang menganut paham teori penciptaan (Universal Creation).
    • b. Mendapat pembelaan dari penganut Darwin antara lain , Yoseph Hooker dan Thomas Henry Huxley (1825-1895).
    • c. Mendapat kritik dan pengkayaan dari banyak ahli antara lain Morgan (1915), Fisher (1930), Dobzhansky (1937), Goldschmidt (1940) dan Mayr (1942).
    Dengan berbagai perkembangan dalam perkembangan dalam ilmu biologi, khususnya genetika maka kemudian Teori Evolusi Darwin diperkaya. Seleksi alam tidak lagi menjadi satu-satunya agen penyebab terjadinya evolusi, melainkan ada tambahan faktor-faktor penyebab lain yaitu: mutasi, aliran gen, dan genetic drift. Oleh karenanya teori evolusi yang sekarang kita seirng disebut Neo-Darwinian atau Modern Systhesis.
    Secara singkat, proses evolusi oleh seleksi alam (Neo Darwinian) terjadi karena adanya:
    • a. Perubahan frekuensi gen dari satu generasi ke generasi berikutnya.
    • b. Perubahan dan genotype yang terakumulasi seiring berjalannya waktu.
    • c. Produksi varian baru melalui pada materi genetic yang diturunkan (DNA/RNA).
    • d. Kompetisi antar individu karena keberadaan besaran individu melebihi sumber daya lingkungan tidak cukup untuk menyokongnya.
    • e. Generasi berikut mewarisi “kombinasi gen yang sukses” dari individu fertile (dan beruntung) yang masih dapat bertahan hidup dari kompetisi.
    Implikasi Teori Evolusi Darwin
    1. Asal Usul Spesies
    Teori utama Darwin bahwa spesies yang hidup sekarang berasal dari spesies lain yang hidup di masa lampau dan bila diurut lebih lanjut semua spesies makhluk hidup diturunkan dari nenek moyang umum yang sama. Seperti yang juga diperkirakan oleh Darwin. Teorinya akan ditentang banyak pihak. Para penentang teori ini dikategorikan dalam tiga kelompok utama:
    • a. Kelompok yang berpendapat bahwa teori Darwin tersebut tidak cukup “ilmiah”.
    • b. Kelompok “Creationist” yang berpendapat bahwa masing-masing spesies diciptakan khusus oleh yang Maha Kuasa untuk tujuan tertentu.
    • c. Kelompok penganut filsafat “idealist” yang berpendapat bahwa spesies tidak berubah. Variasi yang ada merupakan tiruan tidak sempurna dari pola umum “archetypes”. Goethe mengabstaksikan satu archetype atau Urbild untuk semua tanaman (Urplanze) dan beberapa Bauplane untuk hewan.
    Untuk para penentangnya dari dua kelompok pertama di atas Darwin cukup menandaskan bahwa keajaiban-keajaiban atau intervensi dari kekauatan supranatural dalam pembentukan spesies adalah tidak ilmiah. Dalam menanggapi kelompok Idealist (seperti Owen dan Lois Agassiz) Darwin mampu menangkis dengan baik. Pada Origin edisi pertama, Darwin (1959) di halaman 435, menyimpulkan bahwa penjelasan Owen pada masalah archetype adalah “interesting” dan “unity of type”nya merupakan “hukum” biologi yang penting. Kemudian setelah Owen lebih keras lagi menentang teorinya. Darwin pada edisi berikutnya menambahkan “…tetapi itu bukan penjelasan ilmiah”. Menurut Darwin penjelasan tentang “homologi” dan “unity of types” terkait dengan nenek moyang adalah ilmiah, sementara penjelasan terkait dengan archetype tidak ilmiah. Oleh karena Darwin memandang masalah ini sebagai proses, sementara konsep archetype adalam timeless. Secara umum Darwin adalam penganut paham Materialisme.

    2. Seleksi Alam

    Darwin mengemukakan bahwa seleksi alam merupakan agen utama penyebab terjadinya evolusi. Darwin (dan Wallace) menyimpulkan seleksi dari prinsip yang dikemukakan oleh Malthus bahwa setiap populasi cendrung bertambah jumlahnya seperti deret ukur, dan sebagai akibatnya cepat atau lambat akan terjadi perbenturan antar anggota dalam pemanfaatan sumber daya khususnya bila ketersediaannya terbatas. Hanya sebagian, seringkali merupakan bagian kecil, dari keturunannya bertahan hidup: sementara besar lainnya tereliminasi.

    Dengan berkembangnya ilmu genetika, teori itu diperkaya sehingga muncul Neo Darwinian. Menurut Lemer (1958), definisi seleksi alam adalah segala proses yang menyebabkan pembedaan non random dalam reproduksi terhadap genotype; atau allele gen dan kompleks gen dari generasi ke generasi berikutnya.

    Anggota populasi yang membawa genotype yang lebih adaptif (superior) berpeluang lebih besar untuk bertahan daripada keturunan yang inferior. Jumlah individu keturunan yang superior akan bertambah sementara jumlah individu inferior akan berkurang dari satu generasi ke generasi lainnya. Seleksi alampun juga masih bekerja, sekalipun jika semua keturunan dapat bertahan hidup dalam beberapa generasi. Contohnya adalah pada jenis fauna yang memiliki beberapa generasi dalam satu tahun. Jika makanan dan sumberdaya yang lain tidak terbatas selama suatu musim, populasi akan bertambah seperti deret ukur dengan tidak ada kematian di antara keturunannya. Hal itu tidak berarti seleksi tidak terjadi, karena anggota populasi dengan genotype yang berbeda memproduksi keturunan dalam jumlah yang berbeda atau berkembang mencapai matang seksual pada kecepatan yang berbeda. Musim yang lain kemungkinan mengurangi jumlah individu secara drastic tanpa pilih-pilih. Jadi pertumbuhan eksponensial dan seleksi kemungkinan akan dilanjutkan lagi pada tahun berikutnya. Pebedaan fekunditas, sesungguhnya juga merupakan agent penyeleksi yang kuat karena menentukan perbedaan jumlah individu yang dapat bertahan hidup atau dan jumlah individu yang akan mati, yang ditunjukkan dalam angka kematian (Dobzhansky, 1970).

    Darwin telah menerim, namun dengan sedikit keraguan, slogan Herbert Spencer “survival of the fittest in the struggle for life” sebagai altenatif untuk menerangkan proses seleksi alam, namun saat ini slogan itu nampaknya dipandang tidak sepenuhnya tepat. Tidak hanya individu atau jenis yang terkuat tetapi mereka yang lumayan pas dengan lingkungan dapat bertahan hidup dan bereproduksi. Dalam kondisi seleksi yang lunak atau halus semua individu atau jenis pembawa genotype yang bermacam-macam dapat bertahan hidup ketika populasi berkurang. Individu yang fit (individu yang sesuai dengan lingkungan dapat bertoleransi dengan lingkungan) tidak harus mereka yang paling kuat, paling agresif atau paling bertenaga, melainkan mereka yang mampu bereproduksi menghasilkan keturunan dengan jumlah terbanyak yang viable dan fertile.

    Seleksi alam tidak menyebabkan timbulnya material baru (bahan genetic yang baru yang di masa mendatang akan datang diseleksi lagi),melainkan justru menyebabkan hilangnya suatu varian genetic atau berkurang frekuensi gen tertentu. Seleksi alam bekerja efektif hanya bila populasi berisi dua atau lebih genotype, yang mana dari varian itu ada yang akan tetap bertahan atau ada yang tereliminasi pada kecepatan yang berbeda-beda. Pada seleksi buatan, breeder akan memilih varian genetic (individu dengan genotype) tertentu untuk dijadikan induk untuk generasi yang akan datang. permasalahan yang timbul adalah dari mana sumber materi dasar atau bahan mentah genetic penyebab keanekaragaman genetic pada varian-varian yang akan obyek seleksi oleh alam. Permasalahan itu terpecahkan setelah T.H Morgan dan kawan-kawan meneliti mutasi pada lalat buah Drosophilia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses mutasi menyuplai bahan mentah genetic yang menyebabkan terjadinya keanekaragaman genetic dimana nantinya seleksi alam bekerja (Dobzhansky, 1970).

    Implikasi dari teori evolusi melalui ala mini sangat luas, tidak hanya mencakup bidang filsafat namun juga social-ekonomi dan budaya:


    • Penggantian cara pandang bahwa dunia tidak statis melainkan berevolusi.

    • Paham creationisme berkurang pengaruhn ya.

    • Penolakan terhadap teleology kosmis.

    • Penjelasan “desain” di dunia oleh proses materialistic seleksi alam, proses yang mencakup interaksi antara variasi yang tidak beraturan dan reproduksi yang sukses bersifat oportunistik yang sepenuhnya jauh dari dogma agama.

    • Penggatian pola pikir Essensialisme oleh pola pikir populasi.

    • Memberikan inspirasi yang disalahgunakan untuk tujuan yang tidak baik seperti gerakan Nazi di Jerman, Musolini di Italia, kebijakan “eugenic” di Singapura di masa Lee Kuan Yu dan berkembangnya ekonomi liberal yang dikemas dengan label Social-Darwinian.

    Islam Dan Teori Darwin

    Secara ilmiah teori evolusi Darwin utama belum dapat dikatakan runtuh, karena sebelum ditemukan bukti-bukti empiris yang bertentangan dengan kesimpulan teori tersebut, maka pernyataan dalam teori itu masih dianggap benar. Akan tetapi sampai saat ini banyak kalangan masih meragukan kebenaran teori itu terutama dari kalangan agama.

    Saat ini Indonesia kebanjiran buku-buku Islam yang diproduksi Dr. Harun Yahya yang “menyerang” teori Darwin. Dari segi teologis ada kekuatiran bahwa teori Darwin akan mengusir Tuhan dari kehidupan, namun Haidar Bagir, pakar filsafat Islam, tidak sepenuhnya sependapat dengan Harun Yahya. Bagir (2003) menanggapinya dengan mengatakan “Sikap kita terhadap keyakinan Darwinian mengenai sifat kebetulan dan materialistic asal-usul kehidupan yang terkandung dalam teori itu sudah jelas. Kita menolaknya. Tidak demikian halnya dengan kesimpulan utama teori ini mengenai sifat-sifat evolusioner kehidupan. Karena betapapun demikian, tetap saja Tuhan bisa dipercayai sebagai Dzat di balik semua gerakan evolusi itu…”. Tentang prinsip survival of the littest, Bagir justru membenarkannya dan kita harus mengambil hikmahnya, karena hal itu sesuai dengan kenyataan sehari-hari dan didukung oleh tidak bertentangan dengan kandungan Alqur’an. Dingin dari dari dua sisi yaitu aspek teologis dan sisi etis.

    Daftar Pustaka


  • Bagir, Haidar. 2003. Islam dan Teori Evolusi (Butir-butir tanggapan terhadap Harun Yahya). Harian Republika 14 Maret 2003. Jakarta.

  • Bowler, P. J. 1989. Evolution: The History of an Idea. University of California Press. Los Angeles.

  • Darwin, Charles. 1859. The Origin of Species by Means of Natural Selection or The Preversation of Favoured Race in The Struggle for Life. Penguin Books. London.

  • Dawkins, R. 1976. The Selfish Gene. Oxford University Press. Oxford.

  • Dobzhansky, T. 1970. Genetics of The Evolutionary Process. Columbia University Press. New York.

  • Dodson, E. O. and G. F. Howe. 1990. Creation or Evolution: Correspondence on The Current Controversy. University of Ottawa Press. Otttawa.

  • Eiseley, L. C. 1956. Charles Darwin: Reading from Scientific American; Scientific Genius and Creativity.

  • Ereshefsky, M. 1992. The Unit of Evolution: Essays on The Nature og Species. A Bradford Book The MIT Press. Cambridge.

  • Greene, J. C. 1977. Science, Ideology, and World View. University of California Press. Los Angeles.

  • Hull, D. L. 1988. Science as A Process: An Evolutionary Account of The Social and Conceptual Development of Science. The University of Chicago Press. Chicago.

  • Kaye, H. L. 1983. The Social Meaning of Modern Biology. Yale University Press. London.

  • Mayr, E. 1982. The Growth of Biological Thought: Diversity, Evolution, and Inheritance. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge.

  • Pettman, R. 1981. Biopolitics and International Values: Investigating Liberal Norms. Pergamon Press. Oxford.

  • Sober, E. 1993. Phylosophy of Biology. Westview Press. San Fransisco.

  • Yahya, H. 1987. Keruntuhan Teori Evolusi. Penerbit Dzikra. Bandung.
  • * Oleh: Drs. Bambang Agus Suripto, SU., M.Sc. (Dosen Fakultas Biologi UGM)



    Seri Kuliah Filsafat Nilai

    Artikel Berikut ini adalah Materi Kuliah Filsafat Nilai di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang diampu oleh Ibu Septiana Dwiputri M., S.S., M.Hum.

    Letak Kebebasan Menurut J.S Mill *

    • Jika demokrasi sudah berjalan, apa yang dapat dilakukan oleh seorang filsuf politik?

    Pandangan positif mengatakan bahwa segera setelah kita memiliki prosedur pengambilan keputusan secara demokratik, maka tugas mendasar filsuf politik selesai; semua keputusan sekarang dapat diserahkan pada proses yang fair dari mesin pemilihan.

    Sayangnya, demokrasi bukan obat penyembuh segala penyakit, meskipun ia merupakan sistem terbaik yang bisa kita bayangkan: Mill mengatakan ada ‘ancaman tirani mayoritas’. Maka adalah naif mengatakan bahwa demokrasi dapat mencegah terjadinya ketidakadilan: kenyataan bahwa rakyat membuat hukum, tidak akan mencegah terjadinya kemungkinan bahwa mayoritas akan meloloskan hukum yang menindas, atau sebaliknya tidak fair, terhadap minoritas. Jadi, dalam arti tertentu perlu ada perlindungan terhadap minoritas.

    Pandangan Mill dalam mengatasi masalah tersebut agak mengejutkan: setelah membela kebaikan dari demokrasi perwakilan, hal lain yang diusulkannya adalah bahwa kita harus sungguh-sungguh membatasi kekuasaan.

    Karya Mill On Liberty (terbit lebih dulu daripada On Representative Government) memusatkan perhatian pada pertanyaan mengenai ‘hakikat dan batas kekuasaan yang dapat dijalankan secara absah oleh masyarakat terhadap individu’ (On Liberty, 126): Mill berargumen bahwa kita harus memberikan kekuasaan yang cukup pada para individu. Ada batas campurtangan negara, dan juga ada batas penggunaan pendapat publik sebagai cara membentuk kepercayaan atau perilaku.

    • Seberapa banyak kekuasaan yang harus dimiliki negara?
    Anarkis: negara tidak memiliki kekuasaan yang dapat dibenarkan sama sekali. Jadi tidak ada batas bagi kebebasan individu, setidaknya, tidak ada batas yang mungkin dapat dipaksakan oleh negara.

    Pembela negara absolut (Hobbes): negara tidak punya kewajiban untuk memperhatikan sama sekali kebebasan warganegaranya. Negara dapat memaksakan pembatasan atau aturan apapun yang mungkin diinginkannya.

    Mill mengambil spektrum yang berbeda: bukan anarkis dan bukan absolutis. Mengapa sebagai penganjur kebebasan, Mill menolak anarkisme, yang oleh banyak orang dirasakan sebagai perwujudkan tertinggi dari kebebasan individu?

    Mill berpandangan bahwa jika orang diberi kebebasan sempurna, maka ia tentu akan menyalahgunakan kebebasan itu, dengan memanfaatkan ketiadaan pemerintah untuk mengeksploitasi orang lain. Menurut Mill: “All that make existence valuable to anyone depends on the enforcement of restraints upon the actions of other people” (On Liberty, 130).

    Anarki berarti kehidupan tanpa hukum, dan menurut Mill dalam keadaan spt itu hidup akan menjadi sesuatu yang tidak berharga untuk dialami. Mill mengambil pandangan sederhana bahwa tirani tidak lagi dapat dianggap sebagai pilihan yang serius, dan karena itu ia mulai menentukan campuran yang tepat antara kebebasan dan kekuasaan (otoritas).

    Apakah dasar intervensi negara dengan melarang orang bertindak sesuai keinginannya atau memaksa orang bertindak yang bertentangan dengan keinginannya? Masyarakat yang berbeda, menurut Mill, menjawab masalah ini dengan cara yang berbeda:

    – Sebagian melarang praktek agama tertentu atau bahkan menindas agama sama sekali.
    – Sebagian memaksakan sensor pada pers atau media massa yang lain.
    – Banyak masyarakat juga melarang praktek seksual tertentu (homoseksualitas, prostitusi dsb)
    • Apakah negara berhak mencampuri kehidupan dan kebebasan orang dengan hal-hal semacam itu?

    Mill mencoba mencari prinsip atau kumpulan prinsip, yang akan memungkinkan kita memutuskan masing-masing kasus berdasarkan manfaat sebenarnya, daripada hanya membiarkan masalah ini diselesaikan berdasarkan moralitas populer dan kebiasaan yang sewenang-wenang (dua musuh terbesar Mill).

    Prinsip Kebebasan Mill: “Harm Principle”, menyatakan bahwa “you may justifiably limit a person’s freedom of action only if they threaten harm to another”. Harm Principle: membatasi kebebasan atas tindakan orang lain diperbolehkan hanya jika tindakan orang itu membahayakan (mengancam kebebasan) orang lain.

    Bagi banyak orang modern, prinsip ini mungkin sudah dianggap sebagai sesuatu yang sangat jelas, tetapi sepanjang sejarah prinsip ini sering dikaburkan:

    Selama berabad-abad, orang telah disiksa karena menyembang Tuhan yang salah, atau karena tidak menyembah Tuhan sama sekali; bahaya apa yang telah dilakukan oleh orang-orang ini pada orang lain, kecuali mungkin membahayakan keabadian jiwa-nya sendiri?

    Dewasa ini pandangan Mill juga tidak dengan sendirinya jelas bagi kita: Misalnya, jika teman kita menjadi pecandu obat-obat terlarang, apakah kita akan mengintervensi tindakan teman itu dengan paksa untuk menghentikannya hanya jika kemungkinannya ia membahayakan orang lain? Contoh ini membuka awal masalah yang serius mengenai interpretasi dan kemasuk-akalan mengenai prinsip Mill.

    Mungkin tidak ada masyarakat, di masa lalu maupun masa sekarang, yang benar-benar hidup berdasarkan prinsip yang ingin dipahami Mill. Seperti yang akan kita lihat, Mill sendiri menghindarkan diri dari sejumlah konsekuensinya yang sangat tidak konvensional.

    Menurut Mill, prinsip kebebasannya berlaku untuk “semua anggota masyarakat yang beradab”. Jadi apakah Mill berniat mempercayai pembatasan untuk kebebasan masyarakat yang tidak beradab? Kenyataannya, Mill menerima hal ini. Ia secara eksplisit menyatakan bahwa prinsip kebebasannya hanya dapat berlaku pada masyarakat yang ‘yang mengalami kematangan dalam kemampuan bernalarnya’ (On Liberty 135).

    Anak-anak dan kaum barbar tidak dimasukkan, karena “kebebasan, sebagai prinsip, tidak dapat diterapkan pada keadaan lebih dahulu di waktu ketika kemanusian memiliki kemampuan meningkatkan dirinya melalui diskusi yang bebas dan setara (On Liberty, 136).

    Jadi, menurut Mill, kebebasan hanya bernilai di bawah persyaratan tertentu. Jika persyaratan ini tidak berlaku, maka kebebasan bisa sangat membahayakan. Anak-anak seharusnya tidak memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah mereka belajar membaca atau tidak, dan Mill sepakat dengan pandangan di jaman Victoria bahwa masyarakat tertentu adalah ‘terbelakang’, dan karena itu seharusnya juga diperlakukan seperti anak-anak. Yang penting di sini bukan apakah pandangan Mill mengenai orang barbar tepat atau tidak, tetapi kondisi yang diletakkannya bagi penerapan prinsip kebebasan.

    Kebebasan bernilai sebagai sarana memperbaiki kehidupan manusia—memperbaiki kemajuan moral. Dalam keadaan tertentu kebebasan akan memiliki pengaruh yang sama sekali berbeda [dengan yang diinginkan], sehingga kemajuan harus dicapai dengan sarana yang lain. Namun Mill sangat yakin bahwa jika masyarakat telah mengalami kematangan—jika kita telah mencapai kemajuan ke arah tingkat yang lebih beradab—campurtangan (keterlibatan) negara pada tindakan individu harus diatur oleh prinsip kebebasan.



    * Tulisan ini dikutip dari Hand Out Mata Kuliah Filsafat Politik di Fakultas Filsafat UGM, yang diampu oleh Dosen Agus Wahyudi M.A


    Definisi Epistemologi

    • Epistemologi ialah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya pengetahuan (Buku Unsur-Unsur Filsafat, Louis Kattsoff).
    • Secara etimologikal, epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat dari dua kata dalam bahasa Yunani: episteme dan logos. Episteme artinya pengetahuan; logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistemik. Epistemologi diartikan sebagai kajian sistematik mengenai pengetahuan. (Epstemologi Dasar, AM.W Pranarka, 1987)
    • Webster Third New International Dictionary mengartikan epistemologii sebagai “the study of method and ground of knowledge, especially with reference to its limits and validity. Epistemologi adalah the theory of knowledge. (Epstemologi Dasar, AM.W Pranarka, 1987)
    • Runnes dalam Dictionary of Philosophy, epistemologi: the branch of philosophy which investigates the origin, stucture, methods and validity of knowledge. (Epstemologi Dasar, AM.W Pranarka, 1987)
    • Epistemologi is one the core areas of philosophy. It is concerned with the nature, sources and limits of knowledge. There is a vast array of view about those topics, but one virtually universal presupposition is that knowledge is true belie, but not mere true belief (Concise Routledge Encyclopedia of Philosophy, Taylor and Francis, 2003)

    Aliran-Aliran Epistemologi

    1. Skeptisisme

    • Skeptisisme adalah aliran yang secara radikal dan fundamental tidak mengakui adanya kepastian dan kebenaran pengetahuan atau sekurang-kurangnya menyangsikan secara fundamental kemampuan pikiran manusia untuk mendapat kepastian dan kebenaran.
    • Skeptisisme berasal dari bahasa Yunani, skeptomai: memperhatikan dengan cermat, teliti.
    • Skeptisisme adalah aliran atau sistem pemikiran yang mengajarkan sikap ragu sebagai sikap dasar yang fundamental dan universal.
    • Tokoh-Tokohnya: Democritus, Protagoras, Phyrro, Montaigne, Charron, Bayle, Nietze, Spengler, Goblot.

    2. Relativisme

    • Relativisme adalah suatu aliran atau paham yang mengajarkan bahwa kebenaran itu ada, akan tetapi kebenaran itu tidak mempunyai sifat mutlak.
    • Istilah relativisme diangkat dari kata relatif, berasal dari kata latin reffere: membawa, mengacu, menghubungkan . dari situ timbullah kata relatio yang artinya relasi: hubungan, ikatan. Relativisme: adanya ikatan, adanya keterbatasa, nisbi.

    3. Fenomenalisme

    • Phenomenalism: theory that knowledge is limited to phenomena including: (a) physical phenomena or totally of objects of actual and possible perception; and (b) mental phenomena, the totally of objects of introspection. ( Fenomenalisme: teori yang memandang pengetahuan terbatas pada gejala (fenomena) yang mencakup: (a) fenomena fisik atau seluruh object yang nyata dan dapat dipersepsi; dan (b) fenomena mental, yakni seluruh object yang dapat diintrospeksi).
    • Tokohnya: Kant, Comte, Spencer).

    4. Empirisisme

    • Empiricism: (1) a proposition about sources of knowledge: that the sole source of knowledge is experience; or that no knowledge at all or no knowledge with existential reference is possible independently of experience. (2) A proposition about origin of ideas, concepts, or universals: that they or at least those of theme having existential reference are derived solely or primarily from experience or some significant part of experience. (Empirisme: (1) Sebuah dalil tentang sumber pengetahuan: dimana sumber pengetahuan adalah pengalaman; tidak ada pengetahuan yang eksistensial kecuali hal-hal mungkin dialami secara bebas. (2) Sebuah dalil tentang sekitar asal mula ide-ide, konsep-konsep atau hal-hal universal: dimana hal-hal acuan yang eksis adalah sesuatu diperoleh semata-mata atau terutama didapatkan dari pengalaman atau beberapa bagian penting dari pengalaman.

    5. Subjektivisme

    • Subjectivism: the restriction of knowledge to the knowing subject and its sensory. Affective and volitional states and to such external realities as may be inferred from the mind’s subjection states. (Subjectivism: aliran yang membatasi pengetahuan pada hal-hal (objek) yang dapat diketahui dan dirasa. Kecendrungan dan kedudukan kemauan pada realitas eksternal sebagai sesuatu yang bisa ditinjau dari pemikiran yang subjektif).


    Tata Hubungan antara Metafisika dengan Cabang-Cabang Ilmu Khusus

    Tata hubungan metafisika dengan ilmu-ilmu khusus adalah keduanya tidak dapat saling mengecualikan dan mengucilkan; melainkan saling melengkapi di dalam pemahaman manusia tentang seluruh kenyataan. Sebenarnya semua ilmu menyelidiki seluruh kenyataan, namun masing-masing menurut aspek formal tersendiri dan dengan memakai metode ilmiah yang sesuai. Oleh karena itu sama sekali tidak usah ada pertentangan dan persaingan antara metafisika dan ilmu-ilmu khusus. Sebab kenyataan itu hanya satu, maka semua taraf ilmiah juga dapat disesuaikan satu sama lain. Mereka saling melengkapi untuk mencapai pemahaman menyeluruh mengenai kenyataan.

    Untuk memahami lebih lanjut, agaknya kita mesti meninjau objek material dan objek formal metafisika dalam perbandingannya dengan ilmu-ilmu khusus. Paling tidak ada tiga tinjauan:
    • Ilmu pengetahuan khusus/partikular bergulat dengan sebagian realitas sebagai objek materialnya. Ilmu itu menyelidiki bagian khusus dari yang ada. Sedangkan metafisika tidak mempunyai objek material tertentu, tetapi semuanya, menyangkut semua yang ada.
    • Kekhususan metafisika ialah dalam melihat semuanya secara universal, yakni yang ada pada semua hal. Karena itu metafisika dalam hubungan dengan ilmu-ilmu lain disebut scientia universalis (ilmu universal). Tetapi keliru kalau kita melihat metafisika sebagai koleksi atau penjumlahan ilmu-ilmu lain. Kekeliruan ini terletak pada sikap tidak menerima metafisika sebagai ilmu otonom, yang memiliki objek formal dan materialnya sendiri. Anggapan bahwa metafisika adalah ilmu sebagai penjumlahan ilmu-ilmu khusus yang lain adalah keliru karena tidak cocok dengan objek formalnya.
    • Metafisika meneliti hal-hal yang ada sehubungan dengan sebab-sebab yang terdalam dan universal. Karena itu, metafisika merupakan ilmu pengetahuan yang paling tinggi dalam pengertian kata ilmu. Karena kedudukannya sebagai ilmu pengetahuan yang paling tinggi, metafisika lebih bercorak kebijaksanaan dari pada ilmu. Metafisika mempunyai kedudukan tersendiri dan tidak boleh diperlakukan seperti yang lain, karena setiap ilmu tergantung pada metafisika . pada prinsip-prinsip metafisik yakni prinsip-prinsip realitas itu sendiri.

    Referensi:

    • Bagus, Lorens. 1991. Metafisika. Penerbit PT Gramedia Utama: Jakarta
    • Siswanto, Joko. 2004. Metafisika Sistematik. Penerbit Taman Pustaka Kristen: Yogyakarta


    Mengapa epistemologi perlu dipelajari?

    1. Pertimbangan strategis

    Kajian epistemologis perlu karena pengetahuan sendiri merupakan hal yang secara strategis penting bagi hidup manusia. Strategi berkenaan dengan bagaimana mengelola kekuasaan atau daya kekuatan yang ada. Sehingga tujuan dapat tercapai. Pengetahuan pada dasarnya adalah suatu kekuasaan atau daya. Sudah sejak Francis Bacon (1561-1626) orang disadarkan akan kenyataan bahwa pengetahuan adalah suatu kekuasaan (knowledge is power). Pengetahuan mempunyai daya kekuatan untuk mengubah keadaan. Seperti yang dikatakan Pranarka: “Apabila pengetahuan adalah suatu kekuatan yang telah dan akan terus membentuk kebudayaan, mneggerakkan dan mengubah dunia, sudah semestinyalah apabila kita berusaha memahamii apa itu pengetahuan, apa sifat dan hakikatnya, apa daya dan keterbatasannnya, apa kemungkinan dan permasalahannya.” Pertanyaan-pertanyaan asasi tentang pengetahuan seperti itu dicoba untuk dijawab oleh epistemologi

    2. Pertimbangan kebudayaan

    Pengetahuan merupakan salah satu unsur kebudayaan. Pengetahuan memegang peran penting. Berkat pengetahuan, manusia dapat mengolah dan mendayagunakan alam lingkungannya. Ia juga dapat mengenali permasalahan yang dihadapi, menganalisis, menafsirkan pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang dihadapinya, menilai situasi serta mengambil keputusan untuk berkegiatan.

    Dari segi pertimbangan kebudayaan, memperlajari epistemologi diperlukan pertama-pertama untuk mengungkap pandangan epistemologis yang sesungguhnya ada dari kandungan dalam setiap kebudayaan. Setiap kebudayaan, entah implisit atau eksplisit, entah hanya secara lisan atau tulisan, entah secara sistematis ataupun tidak, selalu memuat pandangan penting tentang pengetahuan berikut arti dan pentingnya dalam kehidupan manusia.

    3. Pertimbangan pendidikan

    Epistemologi perlu dipelajari karena manfaatnya untuk bidang pendidikan. Pendidikan sebagai usaha sadar untuk membantu peserta didik mengembangkan pandangan hidup, serta sikap hidup dan keterampilan hidup, tidak dapat lepas dari penguasaan pengetahuan.

    Pengetahuan tentang peta ilmu, sejarah perkembangannya, sifat hakiki, dan cara kerja ilmu yang diandikan dimiliki oleh mereka yang mau mengelola pendidikan merupakan pokok bahasan dalam kajian epistemologi.

    Referensi:
    • Sudarminta, J. Cetakan ke-5 2006. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.


    Konsep Ketuhanan dalam Agama Hindu

    Wujud Tuhan

    Pertanyaan awal yang menarik terkait dengan agama Hindu: Apakah Tuhan Agama Hindu mempunyai wujud? Hal ini terkait dalam sistem pemujaan agama Hindu para pemeluknya membuat bangunan suci, arca (patung-patung), pratima, pralinga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain-lain. Hal ini menimbulkan prasangka dan tuduhan yang bertubi-tubi dengan mengatakan umat Hindu menyembah berhala.

    Penjelasan lebih lanjut tentang pelukisan Tuhan dalam bentuk patung adalah suatu cetusan rasa cinta (bhakti). Sebagaimana halnya jika seorang pemuda jatuh cinta pada kekasihnya, sampai tingkat madness (tergila-gila) maka bantal gulingpun dipeluknya erat-erat, diumpamakan kekasihnya., diapun ingin mengambarkan kekasihnya itu dengan sajak-sajak yang penuh dengan perumpamaan. Begitu pula dalam peribadatan membawa sajen (yang berisi makanan yang lezat dan buah-buahan) ke Pura, apakah berarti Tuhan umat Hindu seperti manusia, suka makan yang enak-enak? Pura dihias dan diukir sedemikian indah, apakah Tuhan umat Hindu suka dengan seni? Tentu saja tidak. Semua sajen dan kesenian ini hanyalah sebagai alat untuk mewujudkan rasa bhakti kepada Tuhan.

    Brahman/ Tuhan Yang Maha Esa

    Tuhan dalam agama Hindu sebagaimana yang disebutkan dalam Weda adalah Tuhan tidak berwujud dan tidak dapat digambarkan, bahkan tidak bisa dipikirkan. Dalam bahasa Sanskerta keberadaan ini disebut Acintyarupa yang artinya: tidak berwujud dalam alam pikiran manusia. Tuhan Yang Maha Esa ini disebut dalam beberapa nama, antara lain:

    * Brahman: asal muasal dari alam semestea dan segala isinya

    * Purushottama atau Maha Purusha

    * Iswara (dalam Weda)

    * Parama Ciwa (dalam Whraspati tatwa)

    * Sanghyang Widi Wasa (dalam lontar Purwabhumi Kemulan)

    * Dhata: yang memegang atau menampilkan segala sesuatu

    * Abjayoni: yang lahir dari bunga teratai

    * Druhina: yang membunuh raksasa

    * Viranci: yang menciptakan

    * Kamalasana: yang duduk di atas bunga teratai

    * Srsta: yang menciptakan

    * Prajapati: raja dari semua makhluk/masyarakat

    * Vedha: ia yang menciptakan

    * Vidhata: yang menjadikan segala sesuatu

    * Visvasrt: ia yang menciptakan dunia

    * Vidhi: yan menciptakan atau yang menentukan atau yang mengadili.


    Tuhan Yang Maha Esa ini apapun namaNya digambarkan sebagai:

    · Beliau yang merupakan asal mula. Pencipta dan tujuan akhir dari seluruh alam semesta

    · Wujud kesadaran agung yang merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada

    · Raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan makanan

    · Sumber segalanya dan sumber kebahagiaan hiudp

    · Maha suci tidak ternoda

    · Mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, maha cemerlang, tiada terucapkan, tiada duanya.

    · Absolut dalam segala-galanya, tidak dilahirkan karena Beliau ada dengan sendirinya (swayambhu)

    Penggambaran tentang Tuhan Yang Maha Esa ini, meskipun telah berusaha menggambarkan Tuhan semaksimal mungkin, tetap saja sangat terbatas. Oleh karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan definisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas itu tidaklah menjangkau kebesaranNya. Sehingga kitab-kitab Upanisad menyatakan tidak ada definsi yang tepat untukNya, Neti-Neti (Na + iti, na + iti), bukan ini, bukan ini.

    Untuk memahami Tuhan, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan ajaran ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Sedangkan kitab suci Veda dan temasuk kitab-kitab Vedanta (Upanisad) adalah sumber yang paling diakui otoritasnya dalam menjelaskan tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).

    Brahman memiliki 3 aspek:

    1. Sat: sebagai Maha Ada satu-satunya, tidak ada keberadaan yang lain di luar beliau

    Dengan kekuatanNya Brahman telah menciptakan bermacam-macam bentuk, warna, serta sifat banyak di alam semesta ini. Planet, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan serta benda yang disebut benda mati berasal dari Tuhan dan kembali pada Tuhan bila saatnya pralaya tiba. Tidak ada satupun benda-benda alam semesta ini yang tidak bisa bersatu kembali dengan Tuhan, karena tidak ada barang atau zat lain di alam semesta ini selain Tuhan.

    2. Cit: sebagai Maha Tahu

    Beliaulah sumber ilmu pengetahuan, bukan pengetahuan agama, tetapi sumber segala pengetahuan. Dengan pengetahuan maka dunia ini menjadi berkembang dan berevolusi, dari bentuk yang sederhana bergerak menuju bentuk yang sempurna. Dari avidya (absence of knowledge- kekurangtahuan) menuju vidya atau maha tahu.

    3. Ananda

    Ananda adalah kebahagiaan abadi yang bebas dari penderitaan dan suka duka. Maya yang diciptakan Brahman menimbulkan illusi, namun tidak berpengaruh sedikitpun terhadap kebahagiaan Brahman. Pada hakikatnya semua kegembiraan, kesukaran, dan kesenangan yang ada, yang ditimbulkan oleh materi bersumber pula pada Ananda ini bersumber pula pada Ananda ini, bedanya hanya dalam tingkatan. Kebahagiaan yang paling rendah ialah berwujud kenikmatan instingtif yang dimiliki oleh binatang pada waktu menyantap makanan dan kegiatan sex. Tingkatan yang lebih tinggi ialah kesenangan yang bersifat sementara yang kemudian disusul duka. Tingkatan yang tertinggi adalah suka tan pawali duhka, kebahagian abadi, bebas dari daya tarik atau kemelekatan terhadap benda-benda duniawi.

    Alam semesta ini adalah fragmenNya Tuhan. Brahman memiliki prabawa sebagai asal mula dari segala yang ada. Brahman tidak terbatas oleh waktu tempat dan keadaan. Waktu dan tempat adalah kekuatan Maya (istilah sansekerta untuk menamakan sesuatu yang bersifat illusi, yakni keadaan yang selalu berubah baik nama maupun bentuk bergantung dari waktu, tempat dan keadaan) Brahman.

    Jiwa atau atma yang menghidupi alam ini dari makhluk yang terendah sampai manusia yang tersuci adalah unsur Brahman yang lebih tinggi. Adapun bnda-benda (materi) di alam semesta ini adalah unsur Brahman yang lebih rendah. Walaupun alam semesta merupakan ciptaan namun letaknya bukan di luar Brahman melainkan di dalam tubuh Brahman.

    Devata atau Deva

    Prasangka banyak orang yang menganggap konsep teologis Hindu adalah politeistik berangkat dari pemahaman yang salah tentang Deva. Deva adalah sesuatu yang memancar dari Tuhan Yang Maha Esa. Beraneka Deva itu adalah untuk memudahkan membayangkanNya.

    Dewa-dewa atau devata digambarkan dalam berbagai wujud, yang menampakkan diri sebagai yang personal, yang berpribadi dan juga yang tidak berpribadi. Yang Berpribadi dapat kita amati keterangan tentang dewa Indra, Vayu, Surya, Garutman, Ansa yang terbang beas di angkasa, dan sebagainya. Sedang Yang Tidak Berpribadi, antara lain sebagai Om (Omkara/Pranava), Sat, Tat, dan lain-lain.

    Dalam kitab suci Rgveda seperti halnya Atharvaveda disebutkan jumlah dewa-dewa itu sebanyak 33 dewa. Bila kita membaca mantram-mantram lainnya dari kitab suci Rgveda ternyata jumlah Dewa-dewa sebanyak 3339

    Personal God dan Impersonal God

    Tuhan menurut monotheisme Trancendent digambarkan dalam wujud Personal God (Tuhan Yang Maha Esa Berpribadi). Sedangkan menurut monotheisme Immanent, Tuhan Yang Maha Esa selalu digambarkan Impersonal God. Memang menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang abstrak (Impersonal God) tanpa mempergunakan sarana jauh lebih sulit dibandingkan dengan menyembah Tuhan Yang Personal God melalui Bhakti dan Karma Marga.

    Tuhan Yang Maha Esa di dalam Veda digambarkan sebagai Personal God, dapat dibagi menjadi tga kategori:

    1. Penggambaran Antrophomorphic: sebagai manusia dengan berbagai kelebihan seperti bermata seribu, berkaki tiga, bertangan empat dan sebagainya.

    2. Penggambaran Semianthrophomorphic: sebagai setengah manusia atau setengah binatang. Hal ini lebih menonjol dalam kitab-kitab Purana seperti dewa Ganesha (manusia berkepala gajah), Hayagriwa (manusia berkepala kuda, dan sebagainya.

    3. Penggambaran Unantrophomorphic: tidak sebagai manusia melainkan sebagai binatang saja, misalnya Garutman (Garuda), sebagai tumbuh-tumbuhan, misalnya Soma dan lain-lain.

    Referensi:

    • Cudami. 1989. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Yayasan Dharma Sarathi: Jakarta
    • Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Penerbit Paramita: Surabaya.

    Pembuktian Keberadaan Tuhan

    1. Pembuktian Ontologis

    “Pembuktian ontologis” eksistensi Tuhan adalah salah satu usaha untuk membuktikan eksistensi Tuhan yang paling termasyur dan kontroversi. Banyak filosof besar membahasnya. Orang yang pertama kali mengemukakan hal ini adalah Anselmus dari Canterbury (1033-1109), seorang biarawan Benediktin yang menjadi abbas (pemimpin) biaranya dan kemudian menjadi Uskup Agung di Canterbury di Inggris.

    Argumentasi Anselmus, “Allah adalah pengada yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya” (id quo majus cogitari nequit). Namun, “sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang lebih besar daripadanya” tentu bereksistensi dalam kenyataan dan bukan hanya dalam pikiran, karena kalau eksistensinya hanya dalam pikiran orang yang memikirkannya, maka tentu ada sesuatu yang lebih besar yang dapat dipikirkan daripadanya yaitu “yang nyata-nyata ada di luar pikiran”. Maka, mengingat kita dapat memikirkan Tuhan sebagai “sesuatu yang tidak dapat dipikirkan sesuatu yang besar daripadanya”, mala Tuhan mesti bereksistensi dalam kenyataan. Jadi eksistensi Tuhan tidak dapat disangkal. Pemikiran ini bertolak dari logika pemikiran.


    2. Dari Realitas Terbatas ke Realitas Mutlak (Pembuktian Kosmologis)

    Sesuatu yang mutlak adalah sesuatu yang ada karena dirinya sendiri dan bukan sesuatu yang yang lain. Pemikiran ini bertolak dari sebuah realitas, realitas alam raya. Gagasan ini ditopang oleh tiga gagasan dasar:

    1) Ditegaskan bahwa kalau ada sesuatu, maka harus ada “yang mutlak”

    2) Diperlihatkan bahwa segenap realitas yang berubah-ubah tidak mungkin mutlak.

    3) Ditarik kesimpulan bahwa selain realitas yang berubah-ubah mesti ada yang lain lagi, “yang mutlak”, yang tidak sama dengan realitas yang berubah-ubah itu.


    3. Keterarahan Alam (Pembuktian Teleologis)

    Jalan pembuktian Tuhan ini bertolak dari keterarahan yang merupakan ciri khas alam semesta di mana manusia hidup di dalamnya. Argumentasi keterarahan alam dapat disusun menjadi 5 tahap:

    1) Dalam alam terdapat proses-proses yang terarah ke suatu tujuan.

    2) Keterarahan itu tidak dapat dijelaskan sebagai kejadian kebetulan.

    3) Apabila proses-proses itu bukan kebetulan, proses-prosen itu adalah hasil pengarahan.

    4) Maka proses-proses terarah dalam alam semesta menunjuk pada realitas yang mengarahkan.

    5) Realitas itu adalah apa yang disebut Tuhan.


    4. Pernyataan dan Apa yang Termuat di Dalamnya (Pembuktian Antroposentris I)

    Pengalaman adalah titik tolak manusia dalam pencarian jejak-jejak Tuhan berkorelasi dengan kemampuan manusia untuk membuat pernyataan mutlak. Pernyataan mutlak ini bukanlah silogisme, melainkan eksplisitasi dan pendalaman suatu kesadaran yang menunjukkan diri. perjelasan tentang argumen ini dapat dipahami sebagai berikut:

    1) Manusia mampu menyatakan sesuatu dengan mutlak.

    2) Kemampuan ini menunjukkan bahwa manusia selalu sudah bergerak dalam suatu cakrawala kemutlakan.

    3) Cakrawala kemutlakan itu bukan suatu keterbukaan kosong, melainkan realitas transenden nyata.

    4) Realitas transenden nyata itu bukan objek pengetahuan manusia, melainkan syarat kemungkinan bahwa manusia membuat pernyataan (mutlak), jadi disadari secara transendental dalam setiap kali manusia membuat pernyataan (mutlak).

    5) Maka dalam segenap pernyataan (mutlak) yang dibuat manusia selalu diandaikan dan dibenarkan, eksistensi realitas transenden sebagai syarat kemungkinan pernyataan itu.


    5. Kebebasan Manusia dan Implikasinya (Pembuktian Antropologis II)

    Tindakan adalan perpanjangan dan pernyataan kehendak manusia. Manusia bertindak dengan memilih di antara berbagai kemungkinan untuk menjawab situasi yang menantangnya, di mana “memilih” berarti “menghendaki” atau “menentukan diri”. Perjalanan manusia dari kebebasan dalam bertindak terhadap objek-objek terhingga menuju realitas yang tak terhingga dapat dirumuskan sebagai berikut:

    1) Setiap pilihan tindakan menunjukkan kebebasan manusia.

    2) Dengan demikian, setiap pilihan tindakan terarah pada sesuatu yang tak terhingga.

    3) Cakrawala Keterarahan ke yang tak terhingga itu bukan keterbukaan kosong, melainkan realitas transenden nyata.

    4) Realitas transenden nyata itu bukan objek pengetahuan manusia, melainkan syarat kemungkinannya, jadi disadari secara transenden dalam segala kesibukan rohani.

    5) Maka dalam segenap pilihan tindakan yang dilakukan manusia selalu diandaikan dan dibenarkan, eksistensi realitas transenden sebagai syarat kemungkinan pilihan tindakan itu.


    6. Manusia Mencari Makna Akhir (Pembuktian Antropologis III)

    Titik tolak pembuktian ini adalah kenyataan bahwa manusia tidak dapat melakukan sesuatu apapun kalau tidak bermakna baginya. Dari makna suatu perbuatan kita akhirnya dibawa ke pertanyaan tentang maknan eksistensi kita sendiri. Apa yang membuat eksistensi manusia menjadi sesuatu yang berarti, positif, membahagiakan? Penelusuran pertanyaan ini membawa manusia pada kesadaran bahwa dalam pengalaman makna, manusia mengalami diri di-iya-kan dan dicintai secara mutlak. Jadi eksistensi manusia didukung oleh realitas mutlak personal yang ternyata meminati manusia, daripadanya manusia menerima diri sebagai anugerah. Gagasan ini dapat dirumuskan dalam kerangka berikut:

    1) Manusia hanya dapat berbuat sesuatu apa pun apabila perbuatan itu berarti sesuatu baginya.

    2) Suatu perbuatan hanya dapat berarti sesuatu bagi manusia, apabila seluruh eksistensinya bermakna baginya.

    3) Eksistensi manusia bermakna bagi dirinya karena berdasar dalam suatu makna mutlak menyeluruh.

    4) Makna mutlak menyeluruh itu tak lain kenyataan bahwa manusia diiyakan dan diminati tanpa syarat.

    5) Artinya, dalam pengalaman makna eksistensinya manusia bersentuhan dengan Kenyataan Mutlak personal, dasar eksistensinya, yang mengiyakannya, dan itulah yang disebut Tuhan.


    7. Manusia Berhadapan Tuntutan Mutlak dalam Kesadaran Moral (Pembuktian Antropologis IV)

    John Henry Newman (1801-1890), seorang teolog dan kardinal Inggris Raya menunjukkan bahwa suara hati (conscience) adalah tempat manusia bersentuhan dengan realitas Ilahi. Menurut Newman, dalam suara hati, manusia menyadari bahwa ia berkewajiban mutlak untuk melakukan yang baik dan benar, serta menolak yang tidak baik dan tidak benar. Suara hati bagaikan panggilan dari suatu realitas personal yang berkuasa atas diri manusia, yang kalau manusia mengikutinya, membuat ia merasa bernilai, aman, dan bersedia untuk menyerah.

    Pandangan ini juga dapat ditemui pada Immanuel Kant. Bagi Kant, kesadaran moral manusia tidak dapat dimengerti kalau tidak ada Tuhan/

    Kesadaran moral menunjuk pada Allah dapat diuraikan dalam enam langkah:

    1) Manusia berkesadaran moral (yang berarti manusia memiliki suara hati).

    2) Dalam kesadaran moral, manusia sadar bahwa ia mutlak wajib untuk memilih yang benar.

    3) Kesadaran itu berakar dalam hati nurani, yaitu dalam kesadaran di dasar hati manusia bahwa ia wajib mutlak untuk memilih yang baik, jujur, adil dan sebagainya serta menolak yang tidak baik, tidak jujur, dan tidak adil.

    4) Kesadaran akan kewajiban mutlak ini berasal dari dunia luar, tidak dari diri manusia sendiri.

    5) Melainkan kesadaran itu disadari secara langsung oleh manusia sebagai jawaban terhadap suatu tuntutan dari sebuah realitas yang dihadapi, dimana manusia tidak dapat lari daripadanya, dimana sikap terhadap hal itu menentukan mutu sebagai manusia.

    6) Realitas itu bersifat mutlak, personal, dan suci. Itulah yang disebut Tuhan.

    Referensi:
    • Suseno, Franz Magnis. 2006. Menalar Tuhan. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.


    Ketika Agama Tak Lagi Mendamaikan: Relasi Manusia dan Agama Menurut William James



    Religion was existed along human intendence in the world. Initially, religion have extending expectation for human being with good order and ruthless of soul. But, holy message of God by religion was miss understood by many believer. Happened war of religion between that follower. Tragedy in Jaza Strip are example on this problem. Israel say Palestine earth is mine, based on Old Treastment ini Bible. In this article, I will explain about human and religion relationship with William James perspective. James is a part of pragmatism tradition notable exspecially with pragmatical faith. I hope all of reader can a clearly about problem of holy war which was happen in the world exspecially on today.
    Prolog

    Sejak tanggal 27 Desember 2008 sampai hari ini (12 Januari 2009) kita menyaksikan tradegi kemanusiaan yang terjadi di Jalur Gaza Palestina. Peristiwa bukanlah yang pertama, tapi merupakan rangkaian kekejaman Israel terhadap Bangsa Palestina sejak pemerintahan Turki Ustmani di bawah pimpinan Sultan Abdul Hamid II 1876-1909 M (Republika, 11 Januari 2009).

    Dunia internasional tak berdaya. Hatta, PBB yang didaulat sebagai penjaga keamanan dunia tak jua berkutik untuk menghentikan keganasan serangan militer Israel. Naluri akan mengatakan tindakan ini merupakan “pemerkosaan” terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Sesuatu yang tak bisa diterima sebagai sesuatu yang baik oleh akal budi manusia.

    Logika yang bisa kita tarik adalah jika tindakan keji Israel bertentangan dengan sifat kemanusiaan universal, berarti ada salah dengan cara berpikir orang Israel, atau mereka memang sudah tidak punya hati nurani lagi? Tentu agak sulit untuk menjustifikasi hal ini. Apalagi Israel selalu mengaitkan penyerangan terhadap Palestina kepada doktrin agama. Sementara banyak pakar mengatakan “Semua Agama mengajarkan manusia untuk berbuat kebaikan”. Tentu melukai dan membunuh bukanlah sesuatu yang baik dalam agama.

    Inilah yang akan coba penulis elaborasi lebih jauh, yakni problematika fungsi agama dalam mencapai ketentraman hidup manusia di atas dunia dengan mengambil perspektif William James yang dikenal sebagai tokoh Pragmatisme. William James (1842-1910) adalah ahli psikologi dari Universitas Harvard, yang juga dikenal sebagai seorang filsuf Pragmatis bersama Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan John Dewey (1859-1952).
    Menurut The Internet Encyclopedia of Philosphy, Pragamatisme adalah “A philosophical movement that includes those who claim that an ideology or proposition is true if it works satisfactorily, that the meaning of a proposition is to be found in the practical consequences of accepting it, and that unpractical ideas are to be rejected” (sebuah gerakan filsafat yang mengklaim bahwa idelogi atau proposisi/pernyataan bisa dikatakan benar jika bekerja dengan memuaskan, artinya sebuah proposisi dapat ditemukan konsekuensi praktis/manfaatnya dalam kenyataan, dan ide-ide yang tidak bermanfaat akan ditolak).
    Pembahasan

    Kita hidup dalam Pluralitas Agama. Seringkali perbedaan ini menimbulkan sengketa tak kunjung selesai. Betapa banyak perang yang mengorbankan nyawa manusia karena doktrin agama yang melegalkan pembunuhan “atas nama Tuhan”. Perang suci (Holy War) yang terkenal tercatat dalam sejarah adalah pertikaian antara 3 agama yakni Yahudi, Kristen, dan Islam. Dalam banyak kesempatan Yahudi dan Kristen sering berelaborasi menghadapi Islam.

    Menurut hemat penulis, suatu pertingkaian dapat dikatakan sebagai Perang Agama ketika melibatkan umat agama yang berbeda dan mendasarkan diri pada doktrin-doktrin agama. Dalam konteks apa yang terjadi di jalur Gaza beberapa minggu ini dapat dirujuk pada apa yang di sampaikan oleh Paul Findley, mantan Anggota Kongres AS yang tekun mempelajari tentang sepak terjang bangsa Yahudi, khususnya yang berkaitan dengan konflik Palestina-Israel. Pendirian negara Israel yang diproklamirkan pada 14 Mei 1948, dan rangkaian panjang penyerangan Israel terhadap Negara Palestina menurut Findley diklaim Israel atas 3 dasar: “warisan Perjanjian Lama dari Kitab Injil, Deklarasi Balfour yang diumumkan Inggris Raya 1917, dan pembagian Palestina menjadi negara Arab dan Yahudi yang direkomendasikan oleh Majelis Umum PBB pada 1947” (Findley, 1995; hal 23).

    Warisan Perjanjian Lama dari Kitab Injil dapat kita lihat salah satunya pada Kitab Kejadian 15:18, “Pada hari itu Tuhan membuat perjanjian dengan Ibrahim melalui firman, ‘Untuk keturunanmu Aku berikan Tanah ini, dari sungai Mesir hingga sungai Eufrat.’ “ (Findley, 1995; 23).

    Pernyataan ini diamini oleh Pendeta Nasrani Hans Jefferson, pengkhotbah yang juga Pimpinan Yayasan Kasih Untuk Bangsa dalam sebuah wawancara dengan Radio Nederland Wereldomroep 5 Januari 2009. Ia mengatakan, apa yang dilakukan Israel bukanlah penjajahan.

    “Tidak ada satu kekuatan pun di dunia ini, apalagi dari pihak internal Kristen yang mengobah pandangan bahwa Kanaan atau Israel sekarang adalah bukan Tanah Perjanjian. Yang disebut Tanah Perjanjian karena Kejadian pasal 12, Tuhan, Jahweh Elohim berjanji kepada Abraham untuk memberikan tanah itu kepada keturunannya. Dan tanah itu digenapi oleh Tuhan, Jahweh Elohim, disembah oleh Abraham, Ishak dan Yakob pada jaman Musa keluar dari Mesir dengan umat Israel sampai di gunung Nebo dan Yosua melanjutkan kepemimpinan dan menguasai tanah itu.

    Jadi Israel bukan memiliki tanah itu baru 14 Mei 1948. Bukan. Tanah perjanjian itu sudah dimiliki Israel dari jaman Nabi Musa. Bukan baru sekarang. Jadi kalau orang bilang Israel mencaplok tanah Arab, tanah Palestina 14 Mei 1948, orang itu tidak tahu sejarah. Kalau dia tahu sejarah, tanah itu sudah menjadi milik Israel dari zaman Musa. Tidak ada yang bisa merubah itu. Sampai kapan pun juga.

    Hanya Tuhan pakai Amerika, pakai Inggris, pakai PBB untuk mengembalikan Israel ke Tanah Perjanjian 14 Mei 1948. Dan ingat, Israel bukan merdeka karena Israel tidak pernah dijajah. Israel kembali ke tanahnya 14 Mei 1948 untuk memberikan negara Israel dalam konteks pemerintahan dunia hari ini.” (http://hidayatullah.com edisi online 7 Januari 2009).

    Tepukan ini akhirnya berbunyi, ketika Umat Islam juga mengemukakan justifikasi teoogis dengan menyatakan bahwa Palestina adalah tanah suci karena di sanalah berdiri Masjidil Aqsa yang merupakan kiblat pertama umat Islam dan dari sanalah Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam naik menuju Tuhan dalam perjalanan monumental Isra’ Mi’raj. Dan keirian dan kedengkian Yahudi atas pemilikan mereka selama ini atas bumi Palestina merupakan gambarkan yang jelas sebagaimana difirmankan Tuhan dalam Surat Al Baqarah ayat 120: “Dan Mereka orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela (senang) kepada kalian (umat Muslim) hingga kalian mengikuti kehendaknya.”

    Darah yang tertumpah karena justifikasi agama ini telah membuat pembela humanitas dan perdamaian merasa risih dan berpandangan negatif terhadap agama-agama yang ada terutama agama Semit (Yahudi, Islam, dan Kristen). Sehingga ada yang dari kelompok ini menawarkan Humanisme sekular demi keselamatan dunia. Ada juga yang mengkampanye Teologi Global seperti Wilfred Cantwell Smith dan John Hick.

    Menurut Smith, manusia yang hidup dengan keberagaman agama dan kepercayaan sampai saat ini belum bisa hidup rukun. “Kita harus mempelajari tugas baru kita untuk hidup bersama sebagai patner dalam dunia yang multi-religius dan multi-kultural… selama manusia tidak bisa belajar saling pengertian dan mencintai satu sama lain secara lintas batas agama, dan selama kita tidak bisa membina suatu dunia yang mana di dalamnya seluruh manusia dari berbagai agama dan keyakinan bisa hidup bersama dengan damai, maka masa depan palnet kita ini tidak akan cerah.” (Thoha, 2005; hal 71-72).
    Pandangan William James tentang Pragmatisme Agama

    Menyaksikan pertumpahan darah atas dasar agama yang hari ini kembali dipertontonkan oleh Israel (Yahudi) telah membuat perasaan miris yang begitu mendalam. Namun apakah kita harus menyesali keberadaan begitu banyaknya agama sekte dan kepercayaan? Dengan tegas William James mengatakan ‘Tidak’. James menuturkan,

    “Saya tidak dapat memahami bagaimana mungkin individu-individu manusia dengan kondisi dan kekuatan berbeda harus memiliki fungsi dan tugas yang sepenuhnya identik. Tidak ada dua orang di antara kita yang memiliki masalah yang identik, dan kita juga tidak bisa berharap untuk mendapatkan pemecahan yang identik” (James: 622-623).

    Masing-masing manusia unik dalam menghadapi realita. Ini bukan karena hanya diakibatkan oleh fakta yang ditemui berbeda, namun lebih kepada kemampuan manusia menangkap dan merespon apa yang terjadi. Bisa jadi terjadi perbedaan penafsiran atas realita yang sama. Sebagaimana disampaikan oleh James, “Setiap orang, dari sudut pandang masing-masing, mendapatkan bagian tertentu dari fakta dan masalah, dan masing-masing dari kita harus menghadapinya dengan cara khas. Salah satu dari kita harus melunakkan diri, yang lain harus tetap di tempat – untuk mempertahankan posisi yang ditugaskan kepadanya dengan baik” (James: 623).

    Termasuk juga pencitraan manusia terhadap Tuhan. Terjadi diversifikasi penangkapan manusia terhadap realitas Tuhan. “Satu Dewa Perang bisa menjadi Tuhan bagi jenis manusia tertentu, sementara Dewa Perdamaian, Dewa Surga,dan Dewa Rumah menjadi Tuhan bagis jenis manusia lain” (James: 623).

    Berangkat dari kenyataan ini maka James mengajak kita untuk sadar untuk menerima keyakinan orang lain sebagai dinamika religius. Karena pengalaman jiwa terkait dengan kondisi tempat masing-masing kelompok atau individu. “Kita harus jujur dalam memahami fakta bahwa kita tinggal dalam sistem-sistem parsial, dan bahwa dalam kehidupan spiritual bagian-bagian ini tidak dapat saling dipertukarkan”.

    Jika demikian maka konflik atas nama agama sesungguhnya telah menciderai keunikan jiwa manusia. Kita hidup dengan pengalaman masing-masing sehingga kekerasan agama yang terjadi adalah sebuah bentuk ketidakpahaman orang akan makna religiusitas dan pengabaian terhadap sikap terbaik yaitu penoleransian atas perbedaan.

    Problematika ini konflik atas dasar agama ini menjadi dilematis ketika agama merupakan bagian dari takdir dan konstruk sosial masyarakat. Bukankah sebagian besar orang beragama karena faktor keluarga dan lingkungannya? Ketika manusia tidak mengerti kenapa dia hadir di dunia dengan bentuk fisik sedemikian rupa, terikat dalam konstruk sosial dan budaya yang mesti dia patuhi, dan keharusan untuk mempertahankan hidup dari penderitaan, maka agama sebagai hal metafisik menjadi hal menarik bagi manusia. “Titik pusat perputaran kehidupan keagamaan adalah minat individu terhadap takdir pribadinya. Singkatnya, agama adalah sebuah babak monumental dalam sejarah egoistisme manusia. Semua Tuhan yang diimani manusia – baik oleh orang-orang primitif maupun orang-orang yang memiliki intelektualitas yang berdisiplin – menyepakati pengakuan akan panggilan pribadi (James: 626-627).”

    Tidak hanya karena konstruk sosial, agama kemudian menjadi batu sandaran bagi manusia atas ketakutannya akan gelapnya masa depan. Agama memberikan jawaban atas kegelisahan manusia yang semakin menjadi-jadi disebabkan ia tidak pernah tahu bagaimanakah nasib yang akan mendatangi di masa depan. Pertanyaan akan keberadaan dirinya membuat manusia terus secara kreatif mengembangkan potensi yang dia miliki demi pencapaian eksistensi diri. “Pada setiap orang ada sebuah perasaan tak terbagi, yaitu kerisauan akan nasibnya sebagai individu, ketika secara pribadi ia merasakan nasibnya berputar di roda nasib. Perasaan ini bisa dicemooh sebagai egotisme atau tidak ilmiah. Namun, inilah yang memberikan aktualitas konkret pada diri kita. Dan, bakal-eksistensi manapun yang tidak memiliki perasaan semacam itu atau yang setara dengan itu, akan menjadi sekeping realitas setengah jadi (James: 631).”

    Pertanyaan akan takdir diri telah membawa manusia pada keyakinan religius dan hidup dengan aturan-aturan agama. James mengatakan: “Bagaimanapun cara kita menjawab berbagai pertanyaan partikular yang terkait dengan takdir individual kita, sesungguhnya hanya dengan mengakui pertanyaan-pertanyaan itu sebagai pertanyaan yang sungguh dan dengan mengalami lingkungan pemikiran yang membangkitkan mereka, maka kita bisa menanggapi pertanyaan-pertanyaan tersebut secara mendalam. Akan tetapi, mengalami lingkungan seperti itu berarti hidup secara religius. Maka, tanpa ragu-ragu menolak teori yang menyatakan agama sebagai tindak bertahan hidup, karena teori tersebut didasarkan atas kekeliruan luar biasa. James: 632).”

    Pemeluk agama tentu setuju dengan pandangan James bahwa agama bukanlah sekedar upaya bertahan hidup. Lebih dari itu agama telah memberikan ketenangan bagi manusia atas kenyataan hidup yang dihadapinya. Penderitaan hanyalah bagian dari ujian dari Tuhan untuk meningkatkan iman, keadilan Tuhan akan tegak setelah hari kiamat, dan ada sorga tempat segala kenikmatan telah memberikan optimisme di setiap dada orang-orang beriman.
    Kesimpulan

    Kehadiran manusia di dunia merupakan kisah yang terus menjadi misteri. Dari dulu sampai sekarang para pemikir mencoba untuk memecahkan misteri ini. Diskursus ini menjadi rasionalistik ketika hidup dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan spesies manusia di muka bumi. Kebinggungan manusia akan eksistensi dirinya coba dipecahkan oleh agama. Diyakini sebagai sesuatu yang eksternal, agama sepanjang sejarah dapat dikatakan mampu membuat manusia sedikit nyaman atas pertanyaan siapa aku?

    Dari Timur hingga Barat, agama telah menjadi oase bagi kehausan jiwa manusia sejak manusia primitif sampai hari ini. Meski perjalanan dunia juga dihiasi oleh komunitas Atheistik, namun sampai hari agama tetap superior dalam keseharian manusia.

    Agama bukanlah sekedar upaya manusia mempertahankan hidupnya yang selalu dibayangi-bayangi penderitaan dan kesedihan. Karena asumsi agama sebagai cara mempertahankan hidup adalah pandangan pesimistik yang mengerogoti otonomi manusia yang ada pada perasaan dan tubuhnya. Ketika agama menjadi monster yang membanjiri bumi ini dengan lautan darah, maka esensi agama sebagai pembawa kebaikan bagi umat manusia menjadi kontradiktif. Sudah saatnya bagi pemeluk masing-masing agama untuk merubah cara pandang “melegalkan pertumpahan darah atas nama Tuhan”. Karena akal sehat orang awampun akan mengatakan bahwa tak mungkin Tuhan menfirmankah hal-hal yang melegalkan penindasan dan pembunuhan antara sesama makhluk ciptaannya.

    Agama bagi James bersifat subjektif. Religiusitas adalah rasa terdalam jiwa manusia. Sehingga agama cendrung bersifat subjektif. Ketika diletakan sebagai hal yang subjektif maka kebenaran religius sangat tergantung kepada masing-masing orang. Oleh karena itu, sangatlah tidak bijaklah mendasarkan perbuatan nista kepada Tuhan. Dalam terminologi James, “manusia mestilah menganut agama cinta”. Beragama dengan memuarakannya bukan hanya kepada Tuhan, tapi juga kepada aspek perdamaian dan keselamatan bagi kelansungan spesies manusia di dunia ini.

    Daftar Pustaka
    • James, William. Edisi I November 2004. The Varieties of Religious Experience: Perjumpaan dengan Tuhan. Terjemahan Gunawan Admiranto. Penerbit Mizan; Bandung.
    • Editor. 2006. Pragmatism. The Internet Encyclopedia of Philosophy; http://www.iep.utm.edu/p/pragmati.htm.
    • Editor. Rabu 7 January 2009 06:28. Pendeta Hans Jefferson: “Secara batin, umat Kristen di seluruh dunia pasti berdoa buat Israel”. Hidayatullah Online; http://hidayatullah.com. index.php?option=com_content&view=article&id=8359:2009-01-06-23-31-57&catid=71:wawancara&Itemid=73
    • Findley, Paul. 1995. Diplomasi Munafik Yahudi: Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel. Terjemahan Rahmani Astuti. Penerbit Mizan; Bandung.
    • Thoha, Anis Malik. 2006. Tren Pruralisme Agama: Tinjauan Kritis. Penerbit Perspektif; Jakarta.


    Kajian Epistemologi Charles Sanders Pierce (1839-1914)


    Riwayat Hidup Charles Sanders Pierce

    Charles Sanders Peirce dilahirkan pada 10 September 1839 di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Dia menulis dari tahun 1857 sampai menjelang wafat, kira selama 57 tahun. Publikasinya mencapai 12.000 halaman dan manuskrip yang tidak dipublikasikan mencapai 80.000 halaman catatan tangan. Topik yang dibahas dalam karya-karya Peirce sangat luas, dari matematika dan ilmu fisika, ekonomi dan ilmu sosial, serta masalah lainnya.

    Benjamin Peirce, ayah Charles Sanders Peirce adalah professor matematika di Universitas Harvard dan salah seorang pendiri “U.S. Coast and Geodetic Survey”. Peran Benjamin sangat besar dalam membangun Departemen Matematika di Harvard. Dari ayahnya, Charles Sanders Peirce memperoleh pendidikan awal yang mendorong dan menstimulus kiprah intelektualnya. Benjamin mengajar dengan melalui pendekatan kasus/problem yang meminta jawaban dari sang anak.Hal ini membekas dalam pemikiran filosofis dan masalah ilmu yang dihadapi Peirce di kemudian hari.

    Peirce lulus dari Harvard pada tahun 1859 dan menerima gelar Bachelor of Science dalam bidang Kimia pada tahun 1963. Dari tahun 1859 sampai 1891 dia bekerja di U. S. Coast and Geodetic Survey, terutama menyurvei dan investigasi geodesi. Dari tahun 1879 sampai 1884, dia juga mengajar Logika di Departemen Matematika Universitas Johns Hopkins. Pada masa itu Departemen Matematika dipimpin oleh matematikawan terkenal, J. J. Sylvester. Peirce meninggal pada 19 April 1914 di Milford, Pennsylvania Amerika Serikat.
    Karya-Karya Charles Sanders Pierce
    • Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 vols. Edited by Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1931-1958).
    • The Essential Peirce, 2 vols. Edited by Nathan Houser, Christian Kloesel, and the Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1992, 1998).
    • The New Elements of Mathematics by Charles S. Peirce, Volume I Arithmetic, Volume II
    • Algebra and Geometry, Volume III/1 and III/2 Mathematical Miscellanea, Volume IV
    • Mathematical Philosophy. Edited by Carolyn Eisele (Mouton Publishers, The Hague, 1976).
    • Pragmatism as a Principle and Method of Right Thinking: the 1903 Harvard Lectures on
    • Pragmatism by Charles Sanders Peirce. Edited by Patricia Ann Turrisi (State University of New York Press, Albany, New York, 1997).
    • Reasoning and the Logic of Things: the Cambridge Conferences Lectures of 1898. Edited by Kenneth Laine Ketner (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1992).
    • Writings of Charles S. Peirce: a Chronological Edition, Volume I 1857-1866, Volume II 1867-1871, Volume III 1872-1878, Volume IV 1879-1884, Volume V 1884-1886. Edited by the Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1982, 1984, 1986, 1989, 1993).

    Pemikiran Epistemologis Charles Sanders Peirce

    Epistemologi menjadi penting karena mencoba untuk menguraikan tentang keabsahan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Dalam tingkatan tertentu, epistemologi melampaui metafisika, dalam arti epistemologilah yang memberikan pijakan tentang keabsahan “realitas” dan “ada”. Dalam sejarah filsafat Barat perdebatan epistemologi diwarnai oleh dua aliran besar yakni empirisme yang mengatakan objek menentukan subjek (menyesuaikan pikiran dengan fakta) dan rasionalisme yang berdalil subjeklah yang menentukan objek.

    Salah satu varian dari empirisme, objektivisme, menyatakan “Hanya fakta yang ada, subjek pengetahuan tak sanggup melakukan refleksi atas pengetahuannya karena jalan masuk ke dalam kenyataan telah dipagari oleh patok-patok ‘positif’. Fakta itu berada di luar ‘sana’, yang merupakan barang asing dihadapan subjek.

    Perkembangan pengetahuan ilmiah mengenai gejala-gejala alam dirumuskan dalam struktur logis teori-teori ilmiah dan prosedur-prosedur untu memperoleh teori-teori ilmiah itu. Charles Sanders Pierce merupakan filsuf pertama yang kembali merefleksikan prosedur-prosedur yang telah lama dimutlakkan dan dianggap bebas dari konteks kehidupan konkret.

    Bagi Peirce sebagai mana yang diinterpretasi oleh Habermas, tugas metodologi bukanlah menjernihkan struktur logis teori-teori ilmiah melainkan menjernihkan logika prosedur untuk memperoleh teori-teori ilmiah itu. Dalam pandangan Peirce, proses penelitian ilmiah tak dapat dilepaskan dari kehidupan konkret sehari-hari karena merupakan salah satu kegiatan hidup (lebenpraxis) itu sendiri. Dalam hidup sehari-hari kita mengatur tindakan-tindakan kita untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang menghadang. Sebagai besar dari tindakan kita itu merupakan hasil konsensus yang dicapai secara intersubjektif.

    Suatu informasi sebagai ‘ilmiah’ jika dan hanya jika konsensus yang tetap dan tak dipaksakan dapat dicapai dengan memperhatikan kesahihannya. “Pelembagaan proses penelitian sekali dan untuk seterusnya menentukan jalan yang harus kita tempuh untuk sampai pada keyakinan-keyakinan kita yang kita sebut pengetahuan hanya karena merupakan pengetahuan yang tak dipaksakan dan bersifat intersubjektif”.

    Suatu konsensus ilmiah tidak harus definitif karena pernyataan-pernyataan yang dihasilkannya selalu dapat diperbaiki. Kendatipun demikian, konsensus itu harus bertujuan mencapai kesepakatan definitif. Secara prinsip harus diyakini mungkinnya suatu jawaban final bagi setiap masalah ilmiah yang muncul. Tanpa prinsip ini kita tak pernah dapat membedakan secara tegas pernyataan-pernyataan yang benar dari yang salah.

    Dari uraian di atas nampak ada ketegangan antara “tak pernah diperoleh suatu jawaban final” dengan “keharusan menyakini adanya suatu jawaban definitif”. Menurut Peirce, masalah ini muncul dari pikiran manusia sendiri. Pikiran manusia di satu pihak mengandung unsur yang berubah-ubah, tergantuk batas-batas lingkungan dan kondisi-kondisi individu sendiri. Di lain pihak, pendapat-pendapat manusia secara universal cendrung mencapai bentuk definitif (mencapai kebenaran). Untuk mencapai kesimpulan akhir, pikiran-pikiran individu tidak memadai, sebab mengandung kesalahan-kesalahan. Meski demikian jawaban-jawaban definitif bisa diperoleh secara intersubjektif (konsensus).

    1. Logika Penelitian Peirce

    Logika penelitian Peirce, berada di antara logika formal (meneliti kesahihan proposisi-proposisi atau argumen-argumen) dan logika transedental (mencari syarat yang dalam diri subjek yang memungkinkan kesahihan pengetahuan, sebagaimana yang tampil dalam argumen-argumen atau proposisi-proposisi). Logika penelitian ini memusatkan diri pada kelompok peneliti yang mencoba menemukan jawaban-jawaban final secara komunikatif. Namun, logika penelitian juga memahami bahwa jawaban final tak pernah dicapai. Kenyataan tidak dipahami dengan kategori-kategori apriori, melainkan dengan mekanisme proses penelitian sebagai proses belajar kumulatif.

    Kenyataan dalam pandangan Peirce adalah sesuatu yang indenpenden terhadap pikiran aktual masing-masing manusia. Kenyataan tidak sama dengan apa yang sedang kita pikirkan (sebagaimana yang dianut Filsafat Identitas Schelling, “pikiran dan kenyataan selalu terjadi identitas: pikiran sama luasnya dengan kenyataan dan sebaliknya”. Dalam perkataan lain Hegel mengatakan, “segala yang nyata itu rasional, dan segala yang rasional itu nyata”). Di lain pihak, jawaban final adalah “yang nyata”, tetap ditentukan oleh pikiran aktual kita.

    Pikiran-pikiran aktual kita berusaha memahami kenyataan yang indenpenden itu dengan melenyapkan kesangsian demi kesangsian yang muncul dalam proses penelitian. Bersamaan dengan itu manusia memperoleh kepastian-kepastian baru yang diyakini sebagai “yang nyata”. “Yang nyata” itu merupakan pemahaman atas wilayah yang telah dicapai dalam tahap tertentu, maka juga bersifat indenpenden terhadap pikiran aktual manusia sampai yang dianggap nyata itu ‘terbukti’ kurang tepat. Di lain pihak, yang berperan dalam memahami yang nyata itu tetap pikiran aktual manusia.

    Peirce menolak konsep ‘das Ding an sich’ (fakta yang gelap dan tak dapat ditafsirkan) yang disampaikan oleh Kant, sekaligus menolak reduksi fakta pada penafsiran-penafsiran kita sendiri. Kenyataan itu dapat diketahui oleh pikiran manusia, tetapi bukan secara subjektif melainkan secara intersubjektif.

    2. Deduksi, Induksi, dan Abduksi

    Peirce membedakan tiga bentuk kesimpulan, yaitu: deduksi, induksi, dan abduksi. Jika suatu kesimpulan membuktikan bahwa sesuatu harus berjalan dengan cara tertentu, kesimpulan ini disebut deduksi. Jika suatu kesimpulan menunjukkan bahwa sesuatu nyatanya berjalan menurut cara tertentu, kesimpulan ini disebut induksi. Kalau suatu kesimpulan membuktikan bahwa sesuatu mungkin akan berjalan dengan cara tertentu, kesimpulan ini disebut abduksi.

    Abduksi adalah cara pembuktian yang memungkinkan hipotesis-hipotesis dibentuk. Pembuktian abduksi bertolak dari sebuah kasus partikular menuju sebuah eksplanasi yang mungkin untuk kasus itu. Bagi Peirce, abduksi merupakan bentuk inferensi yang probabel, artinya tidak memberikan kepastian mutlak. Menurutnya, inferensi memiliki bentuk sebagai berikut: fakta (F) yang menimbulkan tanda tanya diteliti atau diamati. Jika hipotesis (H) benar, F adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Oleh karena itu, (H mungkin) benar

    Dari ketiga bentuk ini hanyalah abduksi yang merupakan bentuk argumen yang memperluas pengetahuan manusia. Abduksi menawarkan suatu hipotesis. Pemikiran abduktif menggerakkan penelitian untuk menemukan kenyataan-kenyataan baru. Melalui deduksi kita memperkembangkan konsekuensi-konsekuensi dari hipoptesis-hipotesis. Jadi dengan deduksi, manusia memprediksi sesuatu. Melalui induksi, manusia menguji apakah dan dalam kemungkinan apa prediksi-prediksi itu diperkuat. Isi teori tentang kenyataan diperluas secara induktif dengan menemukan hipotesis-hipotesis baru. hipotesis-hipotesis baru itu dicocokkan dengan fakta melalui induksi. Jadi induksi dan abduksi ditarik dari penelitian atau pengalaman, maka bersifat aposteriori. Karena disimpulkan dari pengalaman, abduksi dan induksi merupakan bentuk-bentuk kesimpulan sintesis aposteriori (kesimpulan yang ditarik dari pengalaman, dimana predikat diperoleh melalui pengamatan. Jenis kesimpulan yang lain adalah kesimpulan analitis, yaitu kesimpulan yang ditarik tidak dari pengalaman, predikat diperoleh dengan menganalisis subjek.

    Peirce sendiri bertanya “apakah yang membuat fakta biasanya ada sebagai kesimpulan-kesimpulan hipotetis dan induktif dari premis-premis yang betul menggambarkan fakta itu? Fakta dari suatu hal biasanya betul jika fakta yang mempunyai kaitan-kaitan (logis) tertentu dengan abduksi dan induksi itu betul; apakah sebabnya? Itulah soalnya.

    Pertanyaan ini dijawab secara empiris oleh Peirce. Katanya, aturan-aturan itu dapat dibandingkan dengan tingkah laku organisme pada umumnya. Di dalam alam, berlaku suatu hukum yang oleh Darwin disebut ‘survival of the fittest’ (seleksi alam). Makhluk hidup yang mampu mengadaptasi diri dan mempolakan tingkah lakunya sesuai dengan tantangan-tantangan alam dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam konteks seleksi alam inilah Peirce memahami logika penelitiannya. Jadi abduksi, induksi dan deduksi merupakan prinsip tingkah laku untuk menghasilkan pengetahuan dan pengetahuan pada dasarnya adalah cara organisme manusia mempertahankan diri dan menguasai alamnya.

    Menurut Pierce, manusia mengorientasikan tingkah lakunya menurut suatu kepercayaan. Hakekat kepercayaan adalah pemantapan suatu kebiasaan (tingkah laku rutin), dan kepercayaan yang berbeda-beda dibedakan menurut cara bertindak yang berebda-beda. Kesahihan kepercayaan berhubungan dengan kepastian tingkah laku, sebab suatu kepercayaan tak akan dipermasalahkan selama cara-cara tingkah yang diarahkan olehnya tidak mengalamni kegagalan. Jika gagal, tentu kesahihan kepercayaan itu disangsikan , lalu orang berusaha menemukan kepercayaan bary yang menstabilkan tingkah lakunya kembali.

    Menurut Peirce, kepercayaan menggumpal di dalam konsep, maka sebagai perumusan pengetahuan kita, konsep merupakan kristalisasi kepercayaan. Kesangsian atau rasa kepastian terhadap kosnep adalah juga kesangsian atau rasa kepastian terhadap kepercayaan. Dalam ilmu-ilmu alam, konsep-konsep diperluas, diterangkan atau dikoreksi melalui logika penelitian; induksi, abduksi dan deduksi. Peirce menganggap ketiga bentuk kesimpulan ini berhubungan dengan tingkah laku manusia, dalam hal ini peneliti. Pelaksanaan tingkah laku senantiasa mengandung tiga unsur, yaitu penginderaan, kebiasaan, kebiasaan dan kehendak. Abduksi berhubungan dengan unsur penginderaan. Data inderawi dialami secara langsung dan agar dapat diidentifikasikan perlu dimediasi melalui proses menarik kesimpulan melalui putusan-putusan rasional. Induksi berkaitan unsur-unsur kebiasaan. Dengan induksi, manusia membentuk pengandaian-pengandaian umum melalui tindakan instrumentalnya. Deduksi berkaitan dengan unsur kehendak. Bertindak dalam sistem acuan tindakan intrumental sudah mencerminkan deduksi, karena deduksi merupakan antisipasi dari peristiwa-peristiwa alam.

    Daftar Pustaka

    • Hardiman, Fransisco Budi. 2004. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas. Penerbit Buku Baik; Yogyakarta.
    • Editor. First published Fri Jun 22, 2001; substantive revision Wed Jul 26, 2006. Charles Sanders Peirce. Didownload 17 Desember 2008 dari Stanford Encyclopedia of Philosophy;
    • http://plato.stanford.edu/entries/peirce/
    • Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Penerbit Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.