Tentang Blog Ini.......

Blog ini berisikan artikel-artikel filsafat, baik itu dari kawasan Timur, Barat, Islam, Indonesia dan tentunya kajian mengenai cabang-cabang filsafat. Blog ini dikelola oleh Mahasiswa Filsafat UGM Yogyakarta.......

Kajian Epistemologi Charles Sanders Pierce (1839-1914)


Riwayat Hidup Charles Sanders Pierce

Charles Sanders Peirce dilahirkan pada 10 September 1839 di Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat. Dia menulis dari tahun 1857 sampai menjelang wafat, kira selama 57 tahun. Publikasinya mencapai 12.000 halaman dan manuskrip yang tidak dipublikasikan mencapai 80.000 halaman catatan tangan. Topik yang dibahas dalam karya-karya Peirce sangat luas, dari matematika dan ilmu fisika, ekonomi dan ilmu sosial, serta masalah lainnya.

Benjamin Peirce, ayah Charles Sanders Peirce adalah professor matematika di Universitas Harvard dan salah seorang pendiri “U.S. Coast and Geodetic Survey”. Peran Benjamin sangat besar dalam membangun Departemen Matematika di Harvard. Dari ayahnya, Charles Sanders Peirce memperoleh pendidikan awal yang mendorong dan menstimulus kiprah intelektualnya. Benjamin mengajar dengan melalui pendekatan kasus/problem yang meminta jawaban dari sang anak.Hal ini membekas dalam pemikiran filosofis dan masalah ilmu yang dihadapi Peirce di kemudian hari.

Peirce lulus dari Harvard pada tahun 1859 dan menerima gelar Bachelor of Science dalam bidang Kimia pada tahun 1963. Dari tahun 1859 sampai 1891 dia bekerja di U. S. Coast and Geodetic Survey, terutama menyurvei dan investigasi geodesi. Dari tahun 1879 sampai 1884, dia juga mengajar Logika di Departemen Matematika Universitas Johns Hopkins. Pada masa itu Departemen Matematika dipimpin oleh matematikawan terkenal, J. J. Sylvester. Peirce meninggal pada 19 April 1914 di Milford, Pennsylvania Amerika Serikat.
Karya-Karya Charles Sanders Pierce
  • Collected Papers of Charles Sanders Peirce, 8 vols. Edited by Charles Hartshorne, Paul Weiss, and Arthur Burks (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1931-1958).
  • The Essential Peirce, 2 vols. Edited by Nathan Houser, Christian Kloesel, and the Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1992, 1998).
  • The New Elements of Mathematics by Charles S. Peirce, Volume I Arithmetic, Volume II
  • Algebra and Geometry, Volume III/1 and III/2 Mathematical Miscellanea, Volume IV
  • Mathematical Philosophy. Edited by Carolyn Eisele (Mouton Publishers, The Hague, 1976).
  • Pragmatism as a Principle and Method of Right Thinking: the 1903 Harvard Lectures on
  • Pragmatism by Charles Sanders Peirce. Edited by Patricia Ann Turrisi (State University of New York Press, Albany, New York, 1997).
  • Reasoning and the Logic of Things: the Cambridge Conferences Lectures of 1898. Edited by Kenneth Laine Ketner (Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1992).
  • Writings of Charles S. Peirce: a Chronological Edition, Volume I 1857-1866, Volume II 1867-1871, Volume III 1872-1878, Volume IV 1879-1884, Volume V 1884-1886. Edited by the Peirce Edition Project (Indiana University Press, Bloomington, Indiana, 1982, 1984, 1986, 1989, 1993).

Pemikiran Epistemologis Charles Sanders Peirce

Epistemologi menjadi penting karena mencoba untuk menguraikan tentang keabsahan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Dalam tingkatan tertentu, epistemologi melampaui metafisika, dalam arti epistemologilah yang memberikan pijakan tentang keabsahan “realitas” dan “ada”. Dalam sejarah filsafat Barat perdebatan epistemologi diwarnai oleh dua aliran besar yakni empirisme yang mengatakan objek menentukan subjek (menyesuaikan pikiran dengan fakta) dan rasionalisme yang berdalil subjeklah yang menentukan objek.

Salah satu varian dari empirisme, objektivisme, menyatakan “Hanya fakta yang ada, subjek pengetahuan tak sanggup melakukan refleksi atas pengetahuannya karena jalan masuk ke dalam kenyataan telah dipagari oleh patok-patok ‘positif’. Fakta itu berada di luar ‘sana’, yang merupakan barang asing dihadapan subjek.

Perkembangan pengetahuan ilmiah mengenai gejala-gejala alam dirumuskan dalam struktur logis teori-teori ilmiah dan prosedur-prosedur untu memperoleh teori-teori ilmiah itu. Charles Sanders Pierce merupakan filsuf pertama yang kembali merefleksikan prosedur-prosedur yang telah lama dimutlakkan dan dianggap bebas dari konteks kehidupan konkret.

Bagi Peirce sebagai mana yang diinterpretasi oleh Habermas, tugas metodologi bukanlah menjernihkan struktur logis teori-teori ilmiah melainkan menjernihkan logika prosedur untuk memperoleh teori-teori ilmiah itu. Dalam pandangan Peirce, proses penelitian ilmiah tak dapat dilepaskan dari kehidupan konkret sehari-hari karena merupakan salah satu kegiatan hidup (lebenpraxis) itu sendiri. Dalam hidup sehari-hari kita mengatur tindakan-tindakan kita untuk mengantisipasi peristiwa-peristiwa yang menghadang. Sebagai besar dari tindakan kita itu merupakan hasil konsensus yang dicapai secara intersubjektif.

Suatu informasi sebagai ‘ilmiah’ jika dan hanya jika konsensus yang tetap dan tak dipaksakan dapat dicapai dengan memperhatikan kesahihannya. “Pelembagaan proses penelitian sekali dan untuk seterusnya menentukan jalan yang harus kita tempuh untuk sampai pada keyakinan-keyakinan kita yang kita sebut pengetahuan hanya karena merupakan pengetahuan yang tak dipaksakan dan bersifat intersubjektif”.

Suatu konsensus ilmiah tidak harus definitif karena pernyataan-pernyataan yang dihasilkannya selalu dapat diperbaiki. Kendatipun demikian, konsensus itu harus bertujuan mencapai kesepakatan definitif. Secara prinsip harus diyakini mungkinnya suatu jawaban final bagi setiap masalah ilmiah yang muncul. Tanpa prinsip ini kita tak pernah dapat membedakan secara tegas pernyataan-pernyataan yang benar dari yang salah.

Dari uraian di atas nampak ada ketegangan antara “tak pernah diperoleh suatu jawaban final” dengan “keharusan menyakini adanya suatu jawaban definitif”. Menurut Peirce, masalah ini muncul dari pikiran manusia sendiri. Pikiran manusia di satu pihak mengandung unsur yang berubah-ubah, tergantuk batas-batas lingkungan dan kondisi-kondisi individu sendiri. Di lain pihak, pendapat-pendapat manusia secara universal cendrung mencapai bentuk definitif (mencapai kebenaran). Untuk mencapai kesimpulan akhir, pikiran-pikiran individu tidak memadai, sebab mengandung kesalahan-kesalahan. Meski demikian jawaban-jawaban definitif bisa diperoleh secara intersubjektif (konsensus).

1. Logika Penelitian Peirce

Logika penelitian Peirce, berada di antara logika formal (meneliti kesahihan proposisi-proposisi atau argumen-argumen) dan logika transedental (mencari syarat yang dalam diri subjek yang memungkinkan kesahihan pengetahuan, sebagaimana yang tampil dalam argumen-argumen atau proposisi-proposisi). Logika penelitian ini memusatkan diri pada kelompok peneliti yang mencoba menemukan jawaban-jawaban final secara komunikatif. Namun, logika penelitian juga memahami bahwa jawaban final tak pernah dicapai. Kenyataan tidak dipahami dengan kategori-kategori apriori, melainkan dengan mekanisme proses penelitian sebagai proses belajar kumulatif.

Kenyataan dalam pandangan Peirce adalah sesuatu yang indenpenden terhadap pikiran aktual masing-masing manusia. Kenyataan tidak sama dengan apa yang sedang kita pikirkan (sebagaimana yang dianut Filsafat Identitas Schelling, “pikiran dan kenyataan selalu terjadi identitas: pikiran sama luasnya dengan kenyataan dan sebaliknya”. Dalam perkataan lain Hegel mengatakan, “segala yang nyata itu rasional, dan segala yang rasional itu nyata”). Di lain pihak, jawaban final adalah “yang nyata”, tetap ditentukan oleh pikiran aktual kita.

Pikiran-pikiran aktual kita berusaha memahami kenyataan yang indenpenden itu dengan melenyapkan kesangsian demi kesangsian yang muncul dalam proses penelitian. Bersamaan dengan itu manusia memperoleh kepastian-kepastian baru yang diyakini sebagai “yang nyata”. “Yang nyata” itu merupakan pemahaman atas wilayah yang telah dicapai dalam tahap tertentu, maka juga bersifat indenpenden terhadap pikiran aktual manusia sampai yang dianggap nyata itu ‘terbukti’ kurang tepat. Di lain pihak, yang berperan dalam memahami yang nyata itu tetap pikiran aktual manusia.

Peirce menolak konsep ‘das Ding an sich’ (fakta yang gelap dan tak dapat ditafsirkan) yang disampaikan oleh Kant, sekaligus menolak reduksi fakta pada penafsiran-penafsiran kita sendiri. Kenyataan itu dapat diketahui oleh pikiran manusia, tetapi bukan secara subjektif melainkan secara intersubjektif.

2. Deduksi, Induksi, dan Abduksi

Peirce membedakan tiga bentuk kesimpulan, yaitu: deduksi, induksi, dan abduksi. Jika suatu kesimpulan membuktikan bahwa sesuatu harus berjalan dengan cara tertentu, kesimpulan ini disebut deduksi. Jika suatu kesimpulan menunjukkan bahwa sesuatu nyatanya berjalan menurut cara tertentu, kesimpulan ini disebut induksi. Kalau suatu kesimpulan membuktikan bahwa sesuatu mungkin akan berjalan dengan cara tertentu, kesimpulan ini disebut abduksi.

Abduksi adalah cara pembuktian yang memungkinkan hipotesis-hipotesis dibentuk. Pembuktian abduksi bertolak dari sebuah kasus partikular menuju sebuah eksplanasi yang mungkin untuk kasus itu. Bagi Peirce, abduksi merupakan bentuk inferensi yang probabel, artinya tidak memberikan kepastian mutlak. Menurutnya, inferensi memiliki bentuk sebagai berikut: fakta (F) yang menimbulkan tanda tanya diteliti atau diamati. Jika hipotesis (H) benar, F adalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Oleh karena itu, (H mungkin) benar

Dari ketiga bentuk ini hanyalah abduksi yang merupakan bentuk argumen yang memperluas pengetahuan manusia. Abduksi menawarkan suatu hipotesis. Pemikiran abduktif menggerakkan penelitian untuk menemukan kenyataan-kenyataan baru. Melalui deduksi kita memperkembangkan konsekuensi-konsekuensi dari hipoptesis-hipotesis. Jadi dengan deduksi, manusia memprediksi sesuatu. Melalui induksi, manusia menguji apakah dan dalam kemungkinan apa prediksi-prediksi itu diperkuat. Isi teori tentang kenyataan diperluas secara induktif dengan menemukan hipotesis-hipotesis baru. hipotesis-hipotesis baru itu dicocokkan dengan fakta melalui induksi. Jadi induksi dan abduksi ditarik dari penelitian atau pengalaman, maka bersifat aposteriori. Karena disimpulkan dari pengalaman, abduksi dan induksi merupakan bentuk-bentuk kesimpulan sintesis aposteriori (kesimpulan yang ditarik dari pengalaman, dimana predikat diperoleh melalui pengamatan. Jenis kesimpulan yang lain adalah kesimpulan analitis, yaitu kesimpulan yang ditarik tidak dari pengalaman, predikat diperoleh dengan menganalisis subjek.

Peirce sendiri bertanya “apakah yang membuat fakta biasanya ada sebagai kesimpulan-kesimpulan hipotetis dan induktif dari premis-premis yang betul menggambarkan fakta itu? Fakta dari suatu hal biasanya betul jika fakta yang mempunyai kaitan-kaitan (logis) tertentu dengan abduksi dan induksi itu betul; apakah sebabnya? Itulah soalnya.

Pertanyaan ini dijawab secara empiris oleh Peirce. Katanya, aturan-aturan itu dapat dibandingkan dengan tingkah laku organisme pada umumnya. Di dalam alam, berlaku suatu hukum yang oleh Darwin disebut ‘survival of the fittest’ (seleksi alam). Makhluk hidup yang mampu mengadaptasi diri dan mempolakan tingkah lakunya sesuai dengan tantangan-tantangan alam dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dalam konteks seleksi alam inilah Peirce memahami logika penelitiannya. Jadi abduksi, induksi dan deduksi merupakan prinsip tingkah laku untuk menghasilkan pengetahuan dan pengetahuan pada dasarnya adalah cara organisme manusia mempertahankan diri dan menguasai alamnya.

Menurut Pierce, manusia mengorientasikan tingkah lakunya menurut suatu kepercayaan. Hakekat kepercayaan adalah pemantapan suatu kebiasaan (tingkah laku rutin), dan kepercayaan yang berbeda-beda dibedakan menurut cara bertindak yang berebda-beda. Kesahihan kepercayaan berhubungan dengan kepastian tingkah laku, sebab suatu kepercayaan tak akan dipermasalahkan selama cara-cara tingkah yang diarahkan olehnya tidak mengalamni kegagalan. Jika gagal, tentu kesahihan kepercayaan itu disangsikan , lalu orang berusaha menemukan kepercayaan bary yang menstabilkan tingkah lakunya kembali.

Menurut Peirce, kepercayaan menggumpal di dalam konsep, maka sebagai perumusan pengetahuan kita, konsep merupakan kristalisasi kepercayaan. Kesangsian atau rasa kepastian terhadap kosnep adalah juga kesangsian atau rasa kepastian terhadap kepercayaan. Dalam ilmu-ilmu alam, konsep-konsep diperluas, diterangkan atau dikoreksi melalui logika penelitian; induksi, abduksi dan deduksi. Peirce menganggap ketiga bentuk kesimpulan ini berhubungan dengan tingkah laku manusia, dalam hal ini peneliti. Pelaksanaan tingkah laku senantiasa mengandung tiga unsur, yaitu penginderaan, kebiasaan, kebiasaan dan kehendak. Abduksi berhubungan dengan unsur penginderaan. Data inderawi dialami secara langsung dan agar dapat diidentifikasikan perlu dimediasi melalui proses menarik kesimpulan melalui putusan-putusan rasional. Induksi berkaitan unsur-unsur kebiasaan. Dengan induksi, manusia membentuk pengandaian-pengandaian umum melalui tindakan instrumentalnya. Deduksi berkaitan dengan unsur kehendak. Bertindak dalam sistem acuan tindakan intrumental sudah mencerminkan deduksi, karena deduksi merupakan antisipasi dari peristiwa-peristiwa alam.

Daftar Pustaka

  • Hardiman, Fransisco Budi. 2004. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan bersama Jurgen Habermas. Penerbit Buku Baik; Yogyakarta.
  • Editor. First published Fri Jun 22, 2001; substantive revision Wed Jul 26, 2006. Charles Sanders Peirce. Didownload 17 Desember 2008 dari Stanford Encyclopedia of Philosophy;
  • http://plato.stanford.edu/entries/peirce/
  • Bagus, Lorens. 2000. Kamus Filsafat. Penerbit Gramedia Pustaka Utama; Jakarta.


0 komentar: