Tentang Blog Ini.......

Blog ini berisikan artikel-artikel filsafat, baik itu dari kawasan Timur, Barat, Islam, Indonesia dan tentunya kajian mengenai cabang-cabang filsafat. Blog ini dikelola oleh Mahasiswa Filsafat UGM Yogyakarta.......

Korupsi dalam Perspektif Kapitalisme



Satu bulan ini, suasana terasa gerah karena tiga kasus korupsi besar secara simultan terungkap. Lagi-lagi tiga aktor utama mengambil peran: politisi, birokrat, dan pengusaha. Kasus pertama melibatkan anggota Komisi IV DPR RI, Al Amin Nur Nasution dan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Azirwan, terkait suap alih fungsi hutan lindung di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Kedua, Artalyta Suryani dalam penyuapan kepada Jaksa penyidik kasus BLBI. Ketiga, anggota DPR dari Partai Bintang Reformasi (PBR) asal Riau terkait suap tender pengadaan kapal patroli senilai Rp120 miliar milik Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Departemen Perhubungan.

Ketiganya merupakan kasus terakhir dari sekian banyak kasus korupsi yang terjadi sejak reformasi digulirkan 10 tahun yang lalu. Reformasi yang bercita-cita memberantas segala tindakan korupsi dan kolusi, juga telah memakan sang pengusungnya sendiri, yakni Prof. Dr. Amien Rais, yang tersangkut dana kampanye DKP dari Depatemen Kelautan dan Perikanan. Saking banyaknya kasus korupsi yang terungkap dalam 10 tahun ini, banyak kalangan menyitir bahwa korupsi pada era reformasi lebih parah daripada pada korupsi pada zaman orde baru.

Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi berkorelasi positif dengan pengungkapan kasus-kasus korupsi. Selain melakukan penyelidikan tanpa lelah, KPK-pun bergiat dalam penyadaran menuju “Masyakatat Indonesia Antikorupsi”. Tidak hanya itu, kalangan akademis merasa perlu untuk ambil bagian. Fakultas Hukum UGM mendirikan Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) dengan tokoh sentral, Denny Indrayana. Di Unand, telah masyhur nama Saldi Isra, salah seorang Dosen Fakultas Hukum Unand yang berhasil mengungkap “korupsi berjamaah” anggota DPRD Sumbar 1999-2004 (putusan hukum terakhir menyatakan anggota Dewan tersebut dinyatakan tidak bersalah). Di kalangan LSM, nama ICW tidak asing lagi dalam perbincangan korupsi.

Menurut Badan Eksekutif Bank Dunia, korupsi adalah “pemanfaatan fasilitas publik untuk keuntungan pribadi” (Winters: 2004, hal 222). Semua agama menghukumi korupsi sebagai perbuatan bejat dan dosa. Moralitas manapun tidak akan menyetujui tindakan kecurangan bernama korupsi. Korupsi adalah penyakit kuno manusia yang telah langgeng dalam peradaban berbagai bangsa, ketika manusia masih hidup berkelompok-kelompok dalam masyarakat alamiah dan kerajaan-kerajaan. Jika demikian adanya, tidak heran ada yang mengatakan, korupsi merupakan bagian dari kebudayaan manusia”.

Meskipun banyak yang mendekati kasus korupsi dari perspektif moralitas dan hukum, namun menarik untuk kita cermati pandangan Mushtaq H. Khan, Dosen senior di Fakultas Ekonomi University of London of Oriental dan African Studies Inggris dalam buku “Membongkar Bank Dunia” yang dieditori oleh Jeffrey A. Winters dan Jonathan R. Pincus. Ia melihat ada kaitan erat antara korupsi di negara-negara berkembang dengan arus kapitalisme global. Khan mengatakan, “proses perkembangan kapitalisme menimbulkan rangsangan dan dorongan yang kuat untuk melakukan korupsi.” (Winters: 2004, hal 223).

Kapitalisme global mengharuskan pemerintah untuk melakukan proses demokratisasi, desentralisasi, dan devolusi demi terwujudnya pasar yang efisien bagi keberlangsungan investasi dan perdagangan (Winters: 2004, hal 237). Demokratisasi memberikan ruang bagi tumbuhnya gairah individu-individu untuk bergerak dan memajukan ekonomi sesuai dengan kemampuan yang mereka miliki. Desentralisasi telah memberikan ruang bebas bagi pemegang administratif di daerah untuk mengelola sumber-sumber ekonomi yang ada di kawasannya. Sedangkan Devolusi membawa perubahan pada institusi-institusi politik dimana masyarakat bebas memilih wakil-wakilnya, yang selanjutnya bertugas mengawasi birokrat (yang berfungsi sebagai pelayan publik).

Proses demokratisasi berhasil memunculkan kapitalis-kapitalis baru yang berjubel mendapat lahan-lahan ekonomis. Untuk mendapatkan sumber pendapatan sang kapitalis mesti berhadapan dengan mekanisme khusus dan aturan-aturan yang berlaku. Bentuknya dapat berupa tender, lelang, dan perizinan. Segala kebijakan ini dipegang oleh pemerintah. Anggota parlemen yang berfungsi sebagai pengawas birokrat, memiliki kekuatan untuk menghancurkan popularitas pemerintah melalui pendekatan politik. Agar alur ini bisa berjalan lancar, maka pengusaha yang bersaing dengan lawan-lawan ekonominya dalam mendapatkan proyek, mesti pintar-pintar mendekati pemerintah. Seringkali uang yang bermain untuk memenangkan sebuah proyek. Supaya mekanisme ini berjalan lancar, mulut politisi harus pula diredam dengan uang sogokan. Kita bisa melihat kasus Al Amin, Artalyta, dan Bulyan berdasarkan logika ini.

Dulu yang banyak mendapatkan jatah uang haram ini adalah orang-orang di pusat. Seiring bergulirnya reformasi, politisi dan birokrat di daerahpun sekarang telah pula menikmati uang-uang panas ini. Ada sindiran menyatakan otonomi daerah, selain sebagai kebijakan pelimpahan beberapa wewenangan yang dulu tersentral, juga dicap sebagai medium perpisahan jalur korupsi dari pusat ke daerah.

Hampir seluruh kasus korupsi dilakukan oleh orang-orang yang telah berkecukupan, seperti pejabat, politisi, dan pengusaha. Tidak pernah kita mendengar korupsi dilakukan oleh anak jalanan, pengemis, ataupun pedagang asongan. Salah-lah dugaan yang menyatakan korupsi terjadi karena tingkat ekonomi yang rendah (kemiskinan). Dalam keseharian kita menemukan orang-orang miskin berlaku jujur, dan rasanya terlalu lugu mereka melakukan kejahatan bernama korupsi.

Sebagian orang mengatakan untuk meminilisir kasus korupsi, naikkan saja gaji para birokrat dan politisi. Namun, upaya itu tetap saja tidak mempan, apabila hukuman untuk pelaku korupsi dan suap masih menguntungkan mereka dari segi oputunity cost (meskipun telah mendekam di penjara, tapi ketika keluar masih bisa menikmati uang hasil korupsinya), hukuman yang ringan (sanksi bagi koruptor di Indonesia belum benar-benar menjerakan sebagaimana di Cina yang memberlakukan hukuman mati bagi koruptor), dan pola pikir birokrat serta politisi yang masih individualitis-pragmatis (mencari uang cepat tanpa memperdulikan kepentingan rakyat). Sehingga, kenaikan pendapatan tidak berarti apa-apa untuk menekan nafsu materialistik, karena tidak adanya regulasi judicial yang menakutkan mereka (Winters: 2004, hal 231).

Pemerintah saat ini memberikan fokus luar biasa pada pemberantasan korupsi sehingga proporsi pencapaian kesejahteraan rakyat cenderung terabaikan. Padahal upaya minimalisasi korupsi membutuhkan waktu yang lama. Sikap menunggu korupsi habis tuntas untuk memulai membangun ekonomi adalah perspektif yang keliru. Malaysia telah membuktikan tesis ini. Meskipun tingkat korupsi di Negeri Jiran ini lumayan besar, namun pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat mampu diraih.

Jika kita kembali merujuk pada Mushtaq H. Khan, maka yang mesti dilakukan oleh negara adalah “meningkatan kemampuan negara dalam memerintah demi pembangunan”. Memang strategi ini tidak bisa dilihat hasil dalam jangka pendek, tapi dalam jangka panjang akan terjadi perubahan signifikan seiring sehatnya iklim usaha dan birokrasi. Semoga melalui kerja keras dan kebersamaan, kita bisa bangkit dari keterpurukan. Amiin.


0 komentar: