Tentang Blog Ini.......

Blog ini berisikan artikel-artikel filsafat, baik itu dari kawasan Timur, Barat, Islam, Indonesia dan tentunya kajian mengenai cabang-cabang filsafat. Blog ini dikelola oleh Mahasiswa Filsafat UGM Yogyakarta.......

Letak Kebebasan Menurut J.S Mill *

  • Jika demokrasi sudah berjalan, apa yang dapat dilakukan oleh seorang filsuf politik?

Pandangan positif mengatakan bahwa segera setelah kita memiliki prosedur pengambilan keputusan secara demokratik, maka tugas mendasar filsuf politik selesai; semua keputusan sekarang dapat diserahkan pada proses yang fair dari mesin pemilihan.

Sayangnya, demokrasi bukan obat penyembuh segala penyakit, meskipun ia merupakan sistem terbaik yang bisa kita bayangkan: Mill mengatakan ada ‘ancaman tirani mayoritas’. Maka adalah naif mengatakan bahwa demokrasi dapat mencegah terjadinya ketidakadilan: kenyataan bahwa rakyat membuat hukum, tidak akan mencegah terjadinya kemungkinan bahwa mayoritas akan meloloskan hukum yang menindas, atau sebaliknya tidak fair, terhadap minoritas. Jadi, dalam arti tertentu perlu ada perlindungan terhadap minoritas.

Pandangan Mill dalam mengatasi masalah tersebut agak mengejutkan: setelah membela kebaikan dari demokrasi perwakilan, hal lain yang diusulkannya adalah bahwa kita harus sungguh-sungguh membatasi kekuasaan.

Karya Mill On Liberty (terbit lebih dulu daripada On Representative Government) memusatkan perhatian pada pertanyaan mengenai ‘hakikat dan batas kekuasaan yang dapat dijalankan secara absah oleh masyarakat terhadap individu’ (On Liberty, 126): Mill berargumen bahwa kita harus memberikan kekuasaan yang cukup pada para individu. Ada batas campurtangan negara, dan juga ada batas penggunaan pendapat publik sebagai cara membentuk kepercayaan atau perilaku.

  • Seberapa banyak kekuasaan yang harus dimiliki negara?
Anarkis: negara tidak memiliki kekuasaan yang dapat dibenarkan sama sekali. Jadi tidak ada batas bagi kebebasan individu, setidaknya, tidak ada batas yang mungkin dapat dipaksakan oleh negara.

Pembela negara absolut (Hobbes): negara tidak punya kewajiban untuk memperhatikan sama sekali kebebasan warganegaranya. Negara dapat memaksakan pembatasan atau aturan apapun yang mungkin diinginkannya.

Mill mengambil spektrum yang berbeda: bukan anarkis dan bukan absolutis. Mengapa sebagai penganjur kebebasan, Mill menolak anarkisme, yang oleh banyak orang dirasakan sebagai perwujudkan tertinggi dari kebebasan individu?

Mill berpandangan bahwa jika orang diberi kebebasan sempurna, maka ia tentu akan menyalahgunakan kebebasan itu, dengan memanfaatkan ketiadaan pemerintah untuk mengeksploitasi orang lain. Menurut Mill: “All that make existence valuable to anyone depends on the enforcement of restraints upon the actions of other people” (On Liberty, 130).

Anarki berarti kehidupan tanpa hukum, dan menurut Mill dalam keadaan spt itu hidup akan menjadi sesuatu yang tidak berharga untuk dialami. Mill mengambil pandangan sederhana bahwa tirani tidak lagi dapat dianggap sebagai pilihan yang serius, dan karena itu ia mulai menentukan campuran yang tepat antara kebebasan dan kekuasaan (otoritas).

Apakah dasar intervensi negara dengan melarang orang bertindak sesuai keinginannya atau memaksa orang bertindak yang bertentangan dengan keinginannya? Masyarakat yang berbeda, menurut Mill, menjawab masalah ini dengan cara yang berbeda:

– Sebagian melarang praktek agama tertentu atau bahkan menindas agama sama sekali.
– Sebagian memaksakan sensor pada pers atau media massa yang lain.
– Banyak masyarakat juga melarang praktek seksual tertentu (homoseksualitas, prostitusi dsb)
  • Apakah negara berhak mencampuri kehidupan dan kebebasan orang dengan hal-hal semacam itu?

Mill mencoba mencari prinsip atau kumpulan prinsip, yang akan memungkinkan kita memutuskan masing-masing kasus berdasarkan manfaat sebenarnya, daripada hanya membiarkan masalah ini diselesaikan berdasarkan moralitas populer dan kebiasaan yang sewenang-wenang (dua musuh terbesar Mill).

Prinsip Kebebasan Mill: “Harm Principle”, menyatakan bahwa “you may justifiably limit a person’s freedom of action only if they threaten harm to another”. Harm Principle: membatasi kebebasan atas tindakan orang lain diperbolehkan hanya jika tindakan orang itu membahayakan (mengancam kebebasan) orang lain.

Bagi banyak orang modern, prinsip ini mungkin sudah dianggap sebagai sesuatu yang sangat jelas, tetapi sepanjang sejarah prinsip ini sering dikaburkan:

Selama berabad-abad, orang telah disiksa karena menyembang Tuhan yang salah, atau karena tidak menyembah Tuhan sama sekali; bahaya apa yang telah dilakukan oleh orang-orang ini pada orang lain, kecuali mungkin membahayakan keabadian jiwa-nya sendiri?

Dewasa ini pandangan Mill juga tidak dengan sendirinya jelas bagi kita: Misalnya, jika teman kita menjadi pecandu obat-obat terlarang, apakah kita akan mengintervensi tindakan teman itu dengan paksa untuk menghentikannya hanya jika kemungkinannya ia membahayakan orang lain? Contoh ini membuka awal masalah yang serius mengenai interpretasi dan kemasuk-akalan mengenai prinsip Mill.

Mungkin tidak ada masyarakat, di masa lalu maupun masa sekarang, yang benar-benar hidup berdasarkan prinsip yang ingin dipahami Mill. Seperti yang akan kita lihat, Mill sendiri menghindarkan diri dari sejumlah konsekuensinya yang sangat tidak konvensional.

Menurut Mill, prinsip kebebasannya berlaku untuk “semua anggota masyarakat yang beradab”. Jadi apakah Mill berniat mempercayai pembatasan untuk kebebasan masyarakat yang tidak beradab? Kenyataannya, Mill menerima hal ini. Ia secara eksplisit menyatakan bahwa prinsip kebebasannya hanya dapat berlaku pada masyarakat yang ‘yang mengalami kematangan dalam kemampuan bernalarnya’ (On Liberty 135).

Anak-anak dan kaum barbar tidak dimasukkan, karena “kebebasan, sebagai prinsip, tidak dapat diterapkan pada keadaan lebih dahulu di waktu ketika kemanusian memiliki kemampuan meningkatkan dirinya melalui diskusi yang bebas dan setara (On Liberty, 136).

Jadi, menurut Mill, kebebasan hanya bernilai di bawah persyaratan tertentu. Jika persyaratan ini tidak berlaku, maka kebebasan bisa sangat membahayakan. Anak-anak seharusnya tidak memiliki kebebasan untuk memutuskan apakah mereka belajar membaca atau tidak, dan Mill sepakat dengan pandangan di jaman Victoria bahwa masyarakat tertentu adalah ‘terbelakang’, dan karena itu seharusnya juga diperlakukan seperti anak-anak. Yang penting di sini bukan apakah pandangan Mill mengenai orang barbar tepat atau tidak, tetapi kondisi yang diletakkannya bagi penerapan prinsip kebebasan.

Kebebasan bernilai sebagai sarana memperbaiki kehidupan manusia—memperbaiki kemajuan moral. Dalam keadaan tertentu kebebasan akan memiliki pengaruh yang sama sekali berbeda [dengan yang diinginkan], sehingga kemajuan harus dicapai dengan sarana yang lain. Namun Mill sangat yakin bahwa jika masyarakat telah mengalami kematangan—jika kita telah mencapai kemajuan ke arah tingkat yang lebih beradab—campurtangan (keterlibatan) negara pada tindakan individu harus diatur oleh prinsip kebebasan.



* Tulisan ini dikutip dari Hand Out Mata Kuliah Filsafat Politik di Fakultas Filsafat UGM, yang diampu oleh Dosen Agus Wahyudi M.A


0 komentar: